MEMAKNAI ATURAN-ATURAN DALAM JEMAAT

Bukan perkara mudah untuk menjadi seorang Ahmadi. Banyak peraturan dan ketentuan dalam Jemaat ini. Hingga ketika semua aturan dan ketentuan itu dipandang dalam kacamata dunia akan terlihat mengekang.

Contohnya soal pengorbanan harta di jalan Allah Ta’ala. Setiap Ahmadi minimal menyisihkan 1/16 hari penghasilannya untuk agama tiap bulan. Belum lagi item-item pengorbanan lainnya dalam bentuk perjanjian selama setahun ke depan.

Ada lagi soal pernikahan. Bahwa setiap Ahmadi wajib hukumnya menikah dengan sesama Ahmadi. Banyak yang tersandung dengan aturan ini. Akhirnya memutuskan untuk menikah dengan ghair-Ahmadi atas nama cinta.

Belum lagi soal pola hidup ala “Tahrik Jadid” yang mengedepankan hidup sederhana. Tidak bermewah-mewahan dalam makan, pakaian, juga gaya hidup.

Sebenarnya tidak ada yang baru dalam Jemaat Ahmadiyah. Apa yang sedang dijalankan oleh para Ahmadi adalah ajaran Islam itu juga. Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.

Soal pengorbanan harta tiap bulan dengan ukuran 1/16 atau 1/10 atau bahkan 1/3 itu pula yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw beserta para sahabat. Lihat dalam sejarah bagaimana Hadhrat Abu Bakar mengorbankan seluruh harta beliau. Diikuti Hadhrat Umar bin Khattab 1/3 dari harta beliau.

Masalah pengorbanan harta ini bukan pada perhitungannya, tapi pada ghairat kecintaan kita kepada Allah Ta’ala dengan memberikan apa yang paling kita cintai. Lewat Jemaat ini kita dilatih untuk bisa memenangkan konflik batin dalam hati kita untuk memberikan yang terbaik kepada Allah Ta’ala.

Jangan sampai hak Allah Ta’ala dipenuhi dengan sisa-sisa uang kita. Sehingga karunia dari-Nya pun berupa sisa-sisa juga nantinya.

Kita pun dididik oleh Rasulullah Saw untuk hidup sederhana. Untuk tidak membelanjakan harta secara berlebihan atas keperluan-keperluan kita. Bahkan Rasul juga mengajarkan untuk tidak menjadi pribadi tidak me-mubazir-kan sesuatu karena berlebihan.

Kita pun diajarkan untuk menikahi dengan melihat agamanya terlebih dahulu. Bukan keluarganya, hartanya atau kecantikan/ketampanannya. Bukan berarti non-Ahmadi tidak baik agamanya. Tapi menikah adalah momen untuk meningkatkan lagi ibadah, pengorbanan dan pengkhidmatan kita kepada agama. Bagaimana itu bisa terlaksana jika pasangan yang non-Ahmadi itu harus diajarkan lagi dari awal soal pengorbanan dan pengkhidmatan terhadap agama?

Teringat dengan pesan Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as bersabda:

“Ingatlah! Jemaat kita tidaklah bertujuan untuk menjalani hidup sebagaimana orang-orang duniawi. Hanya lisannya belaka mengatakan bahwa kami telah masuk ke dalam Jemaat ini lalu menganggap tidak penting pengamalan.”

Sejenak cobalah renungkan sabda beliau ini. Menjadi seorang Ahmadi bukan cuma di lisan. Tapi kita pun harus bisa mengamalkan hakikat dari baiat itu sendiri yang tertuang dalam sepuluh syarat baiat, syarat untuk menjadi seorang Ahmadi.

Syarat-syarat itu bukan ditujukan untuk Hadhrat Masih Mau’ud as. Semua itu ditujukan untuk kita juga pada akhirnya. Untuk kebaikan-kebaikan kita baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Aku sangat bersyukur mendapatkan karunia berada dalam Jemaat ini. Dan menerapkan aturan juga gaya hidup sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam Jemaat. Hidup sederhana dengan didorong ghairat dalam pengorbanan harta membawa keluargaku pada kedamaian hidup meski tidak bergelimang harta.

.

.

.

Penulis: Rahmatunisa Yusuf

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 678

Rahmatunisa

1 thought on “MEMAKNAI ATURAN-ATURAN DALAM JEMAAT

  1. Asw. kenapa banyak hudam ahmadi yg memilih gair, soalnya banyak LI yg pilih pilih, ada hartanya atau tidak, kerja atau tidak, sehingga banyak khudam yg minder. apa lagi, LI YG ada di kota kota mungkin enggan menikah dg orang kampung, demikianllah adanya, semoga ini jadi perhatian kita semua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *