Mengatasi Perbedaan adalah Jalan Menuju Persaudaraan

Ratusan orang berkumpul dalam sebuah kegiatan keagamaan, semua terlihat tenang dan serius menyimak ceramah yang sedang berlangsung. Namun, saat waktu istirahat tiba, semua orang terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Tiba-tiba saja sistem kasta berlaku di tempat itu. Si kaya berkumpul dengan orang yang sama-sama kaya. Si miskin duduk di belakang dengan orang yang mereka anggap senasib dan ada beberapa orang yang hanya duduk menyendiri.

Mereka yang kaya dan yang berpendidikan tinggi sibuk membalas sapaan, banyak orang yang menyalami dan menanyakan kabarnya. Sedangkan si miskin seolah tidak ada yang menyadari keberadaannya. Lalu ketika acara telah selesai, tugas membereskan ruangan, menyapu dan mencuci piring hanya dikerjakan oleh orang-orang yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Fenomena ini banyak sekali terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Perlakuan pada seseorang tergantung pada status dan kedudukannya, hingga akhirnya banyak orang yang tidak memiliki kedudukan merasa rendah diri. Ini tidak hanya banyak terjadi pada sebuah acara besar, akan tetapi juga sering terjadi dalam pertemuan keluarga.

Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi Ukhuwah Islamiyah, yakni konsep persaudaraan yang kokoh antara sesama Muslim. Semua umat Islam dianggap sebagai saudara seiman yang saling menyayangi, menghormati, dan mendukung satu sama lain semata hanya karena Allah Ta’ala.

Hal ini tentu tidak sejalan dengan sabda Baginda Nabi Muhammad saw. “Orang mukmin itu akrab dan bersatu. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak bersatu dan tidak akrab.” [1]

Saat status dan kedudukan menjadi tolok ukur seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, maka dalam dirinya hanya akan tumbuh kemunafikan. Sedangkan, Islam memerintahkan setiap Muslim untuk menanamkan kecintaan pada sesama. Rasa cinta dan kasih sayang ini hanya bisa tumbuh bila kita menyingkirkan hal-hal buruk pada diri kita. Jika terdapat rasa sombong atau takabur sedikit saja di dalam lubuk hati seseorang maka tidak mungkin mereka memiliki ruh kecintaan.

Dalam sebuah pertemuan keagamaan pun, selama semua keburukan-keburukan tidak disingkirkan, semua kesombongan atau perbedaan kaya miskin tidak dihapuskan, angkuh, tidak menunjukkan contoh persaudaraan dan persahabatan, maka pidato-pidato dan suasana ruhani pertemuan itu tidak akan memberi faedah positif apa pun. Dan kedatangan mereka untuk menghadiri pertemuan keagamaan itu tidak akan ada faedahnya.

Ada perintah yang disampaikan Hadhrat Masih Mau’ud as., “Hapuskan perbedaan kedudukan orang besar dan orang kecil antara si kaya dan si miskin, dendam pribadi terhadap seseorang harus dijauhkan seolah-olah tidak pernah terjadi.” [2]

Ketika setiap orang memandang orang lain dengan adil dan santun, ia telah menyebarkan kebaikan. Sebaliknya, bila ia memperlihatkan perbedaan sikap, maka ia telah melukai hati orang lain. Perbedaan hendaklah menjadi sarana sesama Muslim untuk saling mendukung dan melengkapi. Sifat saling menolong dan saling menyayangi akan mendatangkan kekuatan yang akan menarik rahmat dan karunia Allah Ta’ala.

Setiap manusia tidak hanya harus memiliki hubungan yang erat dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Tugas kita adalah untuk terus memperbaiki diri dan juga menyebarkan kebaikan pada sesama.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. bahwa, “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” [3]

Referensi:
[1] HR. Ahmad, AthThabrani dan Al Hakim
[2] https://ahmadiyah.id/khotbah/kasih-sayang-dan-persaudaraan?amp
[3] HR. Bukhari

Visits: 55

Maya Savira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *