
Momen Masuk Islam yang Tak Terlupakan
Januari 2015
Aku keluar dari kamar dan menghampiri suami yang sedang membaca di ruang tamu. Sebuah buku tipis dengan sampul berwarna kuning berada dalam genggamannya. Mencium bau kertasnya, buku itu sudah lama dan usang. Sampulnya yang tipis berbahan kertas HVS bertuliskan “Edaran Berkala Kristologi”. Bagi para penikmat tulisan-tulisan seputar Kristologi, pasti sudah kenal lama dengan buku ini.
Tampilan cetakannya yang sangat sederhana, diketik dengan mesin-tik, bahkan hanya berupa tempelan kliping artikel dan berita. Ciri khas buletin lama tahun 90-an. Namun yang membuat asyik membacanya adalah tanggapan dan argumen dari penulis yang jelas, lugas, dan sangat logis. EBK ini cukup menjadi primadona di masanya dan menuai beragam reaksi dari saudara kita di gereja. Diedarkan secara berkala dan banyak pembacanya.
Melihat suamiku membaca EBK, tetiba aku teringat bahwa malam ini ada pengajian di rumah anggota. “A, kira-kira dia bakalan nanya apa lagi ya?” tanyaku pada suami. Mendengar pertanyaanku, suami tersenyum simpul. “Ga tau. Pokoknya harus banyak baca buku-buku Kristologi nih.” Jawabnya sambil meneruskan membuka halaman dan membacanya.
Sudah beberapa minggu sejak seorang wanita yang usianya sebaya denganku masuk Islam. Ia berasal dari Kristen Protestan dan cukup berpengaruh di gerejanya. Sebulan yang lalu ia datang ke rumah bersama calon suaminya yang beragama Islam. Melihat dari situasinya, ini jelas bahwa lelaki itu ingin ia masuk Islam dan meminta bantuan suamiku untuk tabligh kepadanya.
Ia mulai berbincang dengan kami dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar akidah. Aku mengamati gaya bicaranya yang tegas dan meyakinkan. “Sepertinya dia sudah terbiasa bicara di mimbar,” pikirku saat melihatnya menyampaikan argumen dengan yakin. Intonasi dan pelafalannya jelas. Terdapat penekanan setiap ia mengakhiri kalimat. Seperti orang yang selalu membacakan Alkitab di podium.
Setelah beberapa lama berdiskusi, calon suaminya bertanya apa dia mau masuk Islam. Dengan cepat ia menjawab, “tunggu dulu, belum.” Mendengar cerita dari keluarganya, mereka saling tarik menarik, kalau tidak mau masuk Islam, maka salah satunya harus keluar dari Islam. Orangtuanya berusaha sekuat tenaga mempertahankan anaknya agar tidak keluar dari Islam. Namun ternyata wanita itu cukup kuat dalam pendiriannya. Perlu usaha dan do’a yang lebih intens lagi. Akhirnya hari itu mereka pulang, dan setelah itu ia mulai menghadiri acara tarbiyat dan ta’limul qur’an di cabang kami.
Berada di tengah-tengah kami dan menjadi satu-satunya orang yang berbeda tidak membuatnya malu. Ia selalu mengajukan pertanyaan yang cukup banyak dan membandingkan ajaran agamanya dengan ajaran Islam. Menanyakan hal-hal yang paling mendasar yang tak terbayangkan bagi orang yang ilmunya pas-pasan sepertiku. Menanyakan tentang alasan hari Jum’at sebagai hari yang spesial bagi umat Islam dan membandingkannya dengan hari Minggu sebagai hari ibadahnya, hal-hal seperti larangan riba, haramnya babi, dan lain sebagainya. Tarbiyat cabang menjadi semakin seru dan penuh dengan pertanyaan kritis.
Hingga suatu hari pada hari Jum’at ia datang dan memutuskan untuk masuk Islam. Selepas Shalat Jum’at kami berkumpul di dalam mesjid untuk menyaksikan momen berharga ini. Ia membaca lembaran Pernyataan Bai’at dengan dituntun oleh Mubaligh.
Ia mengikuti kata demi katanya dengan baik, meskipun saat mengucapkan kata dalam bahasa Arab agak terbata-bata. Hingga tiba saatnya ia mengucapkan 2 kalimah Syahadat. Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah khataman nabiyyin, cap yang mengesahkan para nabi.
Ketika sampai di kalimat, “Aku mohon ampun kepada Allah, Tuhanku, dari segala dosaku, dan aku bertaubat kepada-Nya,” suaranya berubah menjadi berat, seperti menahan sesak dalam dada. Berkali-kali ia menghela nafas dan menahannya. Namun tangisnya tak terbendung ketika ia mengucapkan, “Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku, dan aku mengakui dosaku. Maka ampunilah aku, dosaku, karena tak ada yang mengampuni dosa, kecuali Engkau.” Mendengar tangisannya, seisi mesjid diliputi perasaan haru dan ikut meneteskan air mata. Ini adalah salah satu momen bai’at ke dalam Islam Ahmadiyah yang tak terlupakan olehku.
Setelah menjadi seorang muslimah, ia mengganti nama baptisnya menjadi nama berbahasa Arab dan diubah secara legal. Banyak rintangan dan permasalahan yang ia hadapi setelah masuk Islam. Namun ia tetap bertahan dan menjalani kehidupan barunya dengan optimis. Ibarat bayi yang baru lahir, belajar dari nol dan tumbuh perlahan. Melepaskan keyakinan yang ia pegang selama lebih dari 20 tahun dan bersusah payah membiasakan diri untuk mempelajari ajaran Islam yang sempurna. Pasti berat baginya.
Sejak saat itu, di waktu-waktu luangnya ia datang dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, serta meminjam buku-buku yang kami rekomendasikan untuk ia baca. Kami bertemu di pengajian dan berdiskusi hingga larut. Ia berbagi kisah tentang dirinya di masa lalu. Tentang bagaimana ia beribadah. Tentang kisah perjamuan kudus. Tentang anggur dan roti yang menjadi simbol Kristus. Sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga yang tak ternilai oleh apapun.
Visits: 96
Masyaallah Bu Tazah, Kisah yang sangat mengharukan. Semoga Beliau menjadi Muslimah yang sejati
Masya Allah Mubarak
Masyaallah ibu Mubarak perjalanan bertabligh yang sangat indah dan berbuah manis ..smg menjadi ladang ibadah bwt ibu dan klg…begitu pun bwt mualaf smg menjadi pengabdi Ahmadi yang setia hingga akhir hayat..aamiin