
Nyi Iroh: Pelopor Penerangan Masjid Burnay Mulya
“Tidak ada pekerjaan di jalan agama yang tidak bisa tak terselesaikan.”
Kalimat diatas selalu menjadi motivasi bagi diriku. Allah yang kita sembah adalah Dzat Yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Jika Dia sudah mengatakan, kun fayakun, semuanya akan terjadi, meski semustahil apapun itu.
Kisah berikut ini bisa menjadi bukti bahwa kehadiran kita di dunia ini adalah untuk memanifestasikan pertolongan-Nya atas satu kemustahilan yang kita hadapi.
Malam itu sekitar tahun 2009 aku bersama anggota Jemaat Burnay Mulya wilayah Sumatera Selatan menghadiri musyawarah. Ba’da Isya acara ini dimulai yang bertempat di masjid.
Suasana yang hening dibalut dengan kegelapan malam. Sayup-sayup sinar penerangan dari lampu sumbu yang terbuat dari kaleng sarden berwarna merah itu mengamankan mata setiap orang yang hadir.
Kegiatan musyawarah pun dibuka dengan doa yang dipimpin bapak mubaligh. Setelahnya, masuk ke acara inti, yakni membahas soal penerangan lampu untuk masjid.
Sebelumnya, kabar suka datang untuk warga Jemaat di Burnay Mulya karena listri akan masuk kampung. Semua warga Jemaat menyambut gembira dan berbondong-bondong mendaftarkan rumahnya ke PLN.
Di tengah euforia listrik masuk kampung, ada satu anggota Jemaat yang tetap ingin menikmati pancaran lampu minyak, yang sesekali mengeluarkan aroma khasnya itu. Ya, ia adalah Nyi Iroh.
Saat ditanya mengapa? Nyi Iroh hanya menjawab, “Keun waelah. Nini mah nggeus kolot, enteu caang oge mah, enteu naon-naon.” Yang artinya, tidak apa-apa, Nini mah sudah tua, tidak terang juga tidak apa-apa.
Biaya pendaftarannya sebesar empat setengah juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit bagi kami kala itu. Tapi mengingat akan kebutuhannya yang mendesak, tak masalah meski harus berhutang disana-sini.
Rumah mubaligh pun ikut kami daftarkan sebagai calon pelanggan PLN. Lalu bagaimana dengan masjid?
Nah, itulah mengapa diadakan musyawarah malam itu. Sebab, yang ada di pikiran anggota Jemaat saat itu adalah bagaimana rumah mereka terang dulu.
Toh masjid kan selama selama ini juga menginduk ke rumah mubaligh, pikir mereka. Meskipun, jarak antara masjid dan rumah mubaligh terbentang sejauh kira-kira 300 meter.
Tapi inipun menjadi masalah serius. Karena kabel yang ditarik cukup panjang dan rentan hubungan arus pendek akibat tertimpa tanaman atau pelepah pohon kelapa. Sehingga sangat tidak aman jika listrik untuk masjid masih menginduk ke rumah mubaligh.
Dalam situasi seperti, semua berada dalam dilema. Di satu sisi, warga Jemaat juga tengah memperjuangkan listrik untuk rumah-rumah mereka. Tapi disisi lain, sarana rumah ibadah mereka pun harus mendapatkan penerangan sendiri.
Pada akhirnya, tentu saling bertanya, uang dari mana?
Tapi malam itu. Malam yang disaksikan oleh redupnya sinar pelita yang terbuat dari kaleng sarden, yang seseki goyang akibat sapuan angin malam. Menjadi malam yang menyadarkan setiap orang. Bahwa yang tengah mereka perjuangkan adalah Rumah Allah Ta’ala. Yang bisa jadi, ini menjadi sarana penerangan di surga nanti.
Makin larut, suasana yang hangat berubah menjadi panas. Hal biasa yang terjadi saat musyawarah ketika belum menemukan kata mufakat. Dalam hatiku berdoa,”Ya Allah Engkau Maha Berkuasa atas segala sesuatu, tolonglah kami, berikanlah kemudahan bagi kami agar musyawarah ini mencapai kata mufakat, kami hanya ingin menerangi rumah-Mu ini.”
Tiba-tiba seorang nenek memecah keheningan malam itu, dengan suara lantangnya sang nenek yang biasa kami panggil Nyi Iroh itu mengatakan, “Pak Mubaligh dari Nini, hanya bisa ngasih 200.000 rupiah semoga yang lain juga bisa urunan nyak,” begitu lah perkataan Nyi Iroh.
Masha Allah. Tak henti-hentinya aku ucapkan syukur kepada Allah SWT.
Tak lama setelah, mulailah yang lain saling mengangkat tangan turut berpartisipasi dalam penggalangan dana untuk listrik masjid. Sampai akhirnya dengan karunia Allah Ta’ala, terkumpul uang sekitar Rp 5.500.000.
Janda berusia senja itu, dengan perawakan sedikit membungkuk, malam itu menjadi sang pelopor penerangan untuk masjid Burnay Mulya. Ia tak lagi menghiraukan kebutuhannya. Cukuplah kaleng sarden berwarna merah yang mengeluarkan asap sedap itu yang menemaninya tiap malam.
Editor: Muhammad Nurdin
Visits: 55