Penting! Menjaga Makna Id Hakiki untuk Menemukan Surga di Dunia

Keheningan yang berbalut lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an di setiap malam penuh keberkahan kini telah memudar. Ramai langkah kaki yang berayun menapaki jalan menuju rumah Allah pun perlahan menghilang. Rasa rindu kian menghanyutkan saat suasana di setiap rumah tak lagi riuh pada sepertiga malam terakhir. Ramadan telah pergi, meninggalkan jiwa-jiwa yang merindukan perjumpaan dengannya kembali.

Perayaan Idul Fitri yang baru saja kita rayakan sebagai luapan kebahagiaan adalah suatu keniscayaan—kebahagiaan atas kemenangan yang diraih dari hasil penghambaan, menahan berbagai dorongan hawa nafsu, serta beribadah sepanjang bulan Ramadan. Namun, akankah kita mampu mempertahankan keimanan atau justru kembali terjerumus dalam bujuk rayu setan?

Hadhrat Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa kebahagiaan Idul Fitri tidak hanya sekadar untuk disyukuri, tetapi juga harus dijaga. Sebab, setan telah siap mencengkeram dan menyeret manusia kembali ke dalam jurang dosa. Inilah yang membedakan dua hari raya dalam Islam dengan hari raya lainnya. Menyambut hari kemenangan dengan hal-hal positif memang sangat dianjurkan. Hal ini terbukti dari bagaimana antusiasnya Hadhrat Rasulullah saw. dalam menyambut Idul Fitri, namun beliau tetap menjaga syariat agama dan tidak berlebih-lebihan dalam merayakannya.

Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Jahiliah Arab telah memiliki dua hari raya, yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan, yang dirayakan dengan pesta pora tanpa manfaat. Minum minuman memabukkan, menari, dan adu ketangkasan adalah bagian dari ritual dalam perayaan tersebut. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa kedua hari raya itu sejatinya berasal dari zaman Persia Kuno. Kemudian, Hadhrat Rasulullah saw. mengganti kedua perayaan tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:

“Dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda, kaum Jahiliah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain. Ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke Madinah, beliau bersabda: ‘Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan untuk bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha’.” [1]

Hadhrat Rasulullah saw. hadir di tengah umat manusia untuk menciptakan suasana kegembiraan yang berbeda dari sebelumnya—kegembiraan yang tetap terikat dengan kecintaan kepada Allah SWT. Kebahagiaan Id yang hakiki adalah kebahagiaan yang dirayakan dengan tetap menjaga iman dan amal saleh. Berakhirnya Ramadan bukan berarti semangat dalam beribadah melemah, hingga iman pun ikut menurun. Justru, buah dari ibadah sepanjang Ramadan seharusnya menjadi benteng yang menjaga manusia dari lemahnya iman, sehingga mereka tetap konsisten dalam melakukan amal saleh.

Dalam khutbah Jumat di awal Ramadan, Imam Jamaah Ahmadiyah sedunia menyampaikan bahwa bentuk cinta sejati kepada Allah SWT tetap terjaga meskipun Ramadan telah berlalu, sebagaimana firman Allah SWT:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [2]

Huzur atba. menjelaskan:

“Ketika Allah berfirman, ‘Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku’, itu merujuk kepada mereka yang mencintai-Nya. Seorang hamba dan pecinta Allah yang sejati tidak hanya mengingat-Nya selama satu bulan. Cinta sejati berarti tetap menaati perintah-perintah-Nya dan terus berbakti kepada-Nya setelah Ramadan. Ketika seseorang mencintai Allah dengan tulus, maka setiap aspek kehidupannya akan dipenuhi dengan keberkahan-Nya.” [3]

Id yang hakiki adalah Id yang menumbuhkan kecintaan sejati kepada Allah SWT—kecintaan yang harus kita temukan dan jaga untuk meraih surga yang sesungguhnya. Mengenai hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as. menyampaikan:

“Patut diingat bahwa surga dan neraka yang akan terwujud di akhirat bukanlah sesuatu yang baru. Keduanya adalah refleksi dari keimanan dan amal saleh manusia. Surga bukanlah sesuatu yang manusia peroleh dari luar, melainkan berasal dari dalam dirinya. Bagi seorang mukmin, dalam segala keadaan, terdapat surga di dunia ini. Jika ia dianugerahi surga yang ada di dunia—yakni keimanan yang teguh serta taufik untuk melakukan amal saleh—maka itulah Id yang hakiki.”

Selanjutnya, beliau as. bersabda:

“Surga yang ada di kehidupan ini akan kembali dihadirkan Allah baginya di kehidupan akhirat. Surga yang manusia peroleh di dunia ini adalah bagi mereka yang mendapat taufik untuk berbuat kebaikan, untuk beribadah, dan untuk mengamalkan perintah Allah secara konsisten. Inilah surga yang dijanjikan, baik di dunia maupun di kehidupan mendatang. Ini adalah satu perkara yang jelas dan pasti.” [4]

Maka, teruslah berusaha dengan sungguh-sungguh (bermujahadah) dan istiqamah dalam menjalankan perintah Allah melalui amal saleh. Dengan begitu, Id yang kita raih benar-benar menjadi Id yang hakiki.

Referensi :

[1] (HR. Abu Dawud & an-Nasa’i)

[2] (QS. Al-Baqarah: 186)

[3] (Khutbah Jumat, 7 Maret 2025)

[4] (Khutbah Jumat, 10 Agustus 2013 di Masjid Baitul Futuh, London, UK)

Visits: 37

Aisyah Begum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *