Perjalanan Mencari Jodoh

Penulis: Rizwan Khan, Missionary (Muballigh) Jemaat Ahmadiyah di Texas, USA (Amerika Serikat)
Diterjemahkan oleh: Mln. Dildaar Ahmad Dartono (Mubaligh Piyungan, Yogyakarta)

Mencari rishta (pasangan yang cocok untuk menikah) tampaknya mengasyikkan sampai Anda benar-benar memulai prosesnya.

Selama tahun kelima saya di Jamia, saya mempertimbangkan untuk melakukan rishta dengan saudara perempuan teman sekelas saya. Karena dia tinggal di Jerman dan saya tinggal di Amerika, saya tidak tahu kapan kami bisa bertemu. Saya tidak bisa memaksa diri untuk berbicara dengannya di telepon karena saya sudah lama “malu pada perempuan”. Bahkan jika saya melakukannya, saya tidak tahu apakah mungkin untuk mengenal seseorang melalui telepon.

Saya mengenal saudara laki-lakinya dengan baik, tetapi saya tidak memiliki gambaran yang jelas tentang pertimbangan apa yang seharusnya diambil untuk membuat keputusan seperti ini.

Saya meminta mulaqat dengan Huzur (atba) untuk meminta bimbingan. Niat saya yang mendasar adalah untuk mengambil jalan yang paling mudah. Saya hanya akan bertanya kepada Huzur (atba) apa yang harus saya lakukan dan kemudian saya akan melakukan apa yang Huzur (atba) katakan. Dengan cara itu, saya dapat terhindar dari mencari tahu apa yang perlu saya ketahui tentangnya, terhindar dari upaya khusus untuk istikharah (doa untuk memperbaiki situasi apa pun), dan terhindar dari membuat keputusan yang sulit.

Dalam mulaqat, bimbingan yang saya terima dari Huzur (atba) adalah kebalikan dari jalan keluar mudah yang saya inginkan. Huzur (atba) menyarankan agar saya mengunjungi keluarganya, mengamati lingkungan rumah mereka, dan kemudian memutuskan.

Saya memiliki pemahaman yang naif (bodoh) tentang apa itu istikharah. Saya pikir jika saya berdoa dengan cukup keras, maka Allah Swt. harus memberi tahu saya apa keputusan yang tepat. Berdasarkan hal ini, saya memutuskan untuk berdoa, mengunjungi rumah mereka, dan kemudian melakukan apa yang Allah Swt. wahyukan kepada saya.

Ini mengingatkan saya pada ambisi spiritual naif yang saya miliki di tahun pertama saya di Jamia. Ketika Ramadhan dimulai, selama 10 hari pertama, saya menjalankan Tahajud selama dua jam setiap dini hari. Perlu diingat, saya tidak memiliki kebiasaan Tahajud sebelumnya.

Selama sepuluh hari itu, saya benar-benar mengira saya telah berubah dalam semalam, bahwa ini adalah kebiasaan baru saya dalam hidup. Saya masih bertanya-tanya bagaimana mungkin saya bisa senaif itu. Selama 10 hari berikutnya, kenyataan mulai kembali dan Tahajud berkurang menjadi setengah jam. Pada 10 hari terakhir, saya hampir tidak bangun untuk Sahur dan Subuh. Kemajuan spiritual terjadi secara bertahap.

Sebelum rishta ini, saya belum pernah melakukan istikharah dengan serius. Saya tidak memiliki banyak pengalaman dengan mimpi dan wahyu yang nyata. Saya benar-benar mengira saya bisa berubah dari tidak memiliki pengalaman dalam istikharah menjadi mengharapkan wahyu seolah-olah saya telah menerima jawaban atas seribu istikharah sebelumnya.

Saya berbicara dengan keluarganya dan ibu saya dan saya memesan tiket untuk mengunjungi Jerman dan tinggal bersama mereka selama enam hari selama liburan musim dingin. Ini adalah prospek yang tidak mengenakkan karena beberapa alasan.

Pertama, untuk beberapa alasan, kami para mahasiswa Jamiah biasanya tidak membicarakan saudara perempuan kami satu sama lain. Saya bahkan tidak tahu teman sekelas saya memiliki seorang adik perempuan sampai pertanyaan tentang rishta muncul. Jelas ketika mempertimbangkan pernikahan, saya tahu saya akhirnya akan bertemu keluarganya, tetapi dengan konteks persahabatan kami ini, untuk sekarang benar-benar mengunjungi keluarganya dan duduk bersama para wanita dari keluarganya merupakan langkah memasuki ruang pribadinya yang jika tidak demikian tidak akan diterima.

Kedua, saya sudah malu berada di sekitar para wanita. Rasa malu saya itu akan diperparah dengan berada di sekitar wanita yang mempertimbangkan untuk menikahi saya dan yang saya pertimbangkan untuk dinikahi. Selain itu, kami memiliki ujian tahun itu tepat setelah liburan musim dingin, jadi kami harus mencari waktu untuk belajar selama perjalanan ini.

Sepanjang waktu saya di sana, saya terus-menerus merasa gugup hingga saya tidak berselera makan. Ketika pertama kali bertemu dengannya, saya merasa cenderung berjodoh. Lucu sekali bagaimana hal-hal kecil dapat meninggalkan kesan pertama.

Ketika kami bertemu, dia mengenakan kaus kaki biru yang Anda harapkan dikenakan oleh seorang remaja. Saya dapat melihat apa yang diinginkannya karena kaus kaki itu agak cocok dengan pakaiannya, tetapi tidak sepenuhnya. Anda akan mengharapkan seorang wanita mengenakan jenis kaus kaki yang berbeda jika dia ingin terlihat menarik di hadapan seorang pria, tetapi saya adalah seorang pria yang tetap dia perhatikan saat sebagaimana dia berpardah. Meskipun dia bertemu dengan seorang pria yang telah menyeberangi lautan untuk menemuinya, dia tidak berusaha keras untuk memperindah dirinya. Kesan pertama yang saya dapatkan dari hal ini adalah kesederhanaan dan kehormatannya.

Saya juga telah mendengar banyak tentangnya dan telah bertanya kepada saudara laki-laki dan ibunya tentang dia, tetapi tetap saja ada jarak. Ketika saya bertemu dengannya, saya menyadari sesuatu yang begitu jelas sehingga terasa aneh untuk menyadarinya. Dia adalah seseorang, bukan karakter dalam buku; dia adalah seseorang dengan harapan dan ketakutannya sendiri, yang lebih khawatir tentang masa depannya daripada saya tentang masa depan saya.

Pikiran bahwa begitu banyak kebahagiaan dan kesedihannya di masa depan bergantung pada saya adalah beban yang lebih berat daripada yang sanggup saya tanggung. Saya tahu diri saya sendiri dan bagaimana saya pada umumnya adalah orang yang menyedihkan. Saya sanggup menghancurkan hidup saya sendiri, tetapi saya tidak sanggup menghancurkan hidupnya sebagai suami yang buruk.

Perasaan ini membuat saya yakin bahwa saya tidak dapat berkomitmen untuk membuatnya bahagia dengan keyakinan saya sendiri dan saya harus memiliki keyakinan pada Allah Yang Mahakuasa.

Namun, ketika saya tiba di rumah mereka, saya juga segera menyadari bahwa ada sesuatu dalam pemahaman saya tentang istikharah yang salah. Saya harus membuat keputusan pada akhir perjalanan ini; lagipula, itulah tujuan utama perjalanan ini. Namun, saya tidak dalam posisi untuk memberi Allah Yang Mahakuasa batas waktu untuk menjawab istikharah saya. Saya telah menghibur diri sendiri dengan asumsi (dugaan) bahwa jika saya berdoa cukup keras, maka saya akhirnya akan mengumpulkan cukup banyak “titik-titik doa” dengan Allah Yang Mahakuasa agar istikharah saya diterima.

Saya pikir doa-doa saya mencapai sesuatu dengan sendirinya. Saya membayangkan bahwa setiap kali saya berdoa, “Ya Allah, bimbinglah saya,” saya semakin dekat untuk menerima petunjuk dari Allah, seolah-olah doa adalah sistem aksi dan reaksi.

Saya menyadari selama perjalanan itu bahwa anggapan ini salah karena doa tidak melakukan apa pun dengan sendirinya; doa tidak lebih dari sekadar permohonan. Allah Yang Mahakuasa menerima atau menolak sesuai dengan kehendak-Nya.

Anggapan ini menghambat hubungan saya dengan Allah karena doa saya bukanlah interaksi melainkan memasukkan rumus ke dalam mesin. Bagi saya, membayangkan reaksi otomatis apa pun terhadap doa saya mengasumsikan bahwa doa adalah sarana independen untuk mencapai tujuan, bukan permohonan putus asa seperti yang sebenarnya. Menyadari hal ini tidak mengubah kenyataan yang saya hadapi.

Kenyataannya adalah bahwa saya harus memberikan jawaban karena ada orang-orang yang saya hormati yang berada dalam situasi sensitif yang menunggu jawaban saya. Kenyataannya adalah bahwa saya masih tidak dapat memaksakan diri untuk melangkah maju tanpa jawaban atas istikharah saya.

Saya tidak punya pilihan selain melepaskan gagasan bahwa doa saya akan menyelamatkan saya dengan sendirinya. Saya harus menyerahkan segalanya kecuali kasih karunia Allah. Saya tidak bisa mengendalikan diri seperti yang saya kira, saya harus berserah kepada Allah dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia menangkap saya saat saya jatuh.

Ketika saya menyadari hal ini, saya merasa ada sesuatu dalam diri saya yang hancur. Saya tidak ingin menginginkan apa pun lagi. Saya hanya ingin berserah kepada Allah Swt. Saya merasa hampa dan bahkan tidak bisa berdoa untuk mendapatkan jawaban atas doa-doa saya. Saya tidak bisa meminta apa pun. Setiap kali saya berdoa, yang bisa saya lakukan hanyalah berserah kepada Allah dan tidak ada yang lain.

Itulah yang saya lakukan setiap kali saya berdoa selama sisa perjalanan. Setiap tindakan keramahtamahan dan setiap kebaikan yang ditunjukkan keluarganya kepada saya menyakitkan karena saya berpikir bagaimana saya bisa berakhir dengan meninggalkan mereka begitu saja.

Perjalanan itu berakhir dan saya belum mendapat jawaban dari Allah tentang apa yang harus saya lakukan. Saya memberi tahu keluarganya bahwa saya tidak punya jawaban karena saya tidak mendapatkan jawaban atas istikharah saya. Saya pergi bukan hanya dengan perasaan tidak tahu harus berbuat apa, tetapi juga merasa tidak tahu apa pun yang saya ketahui lagi.

Satu-satunya hal yang saya rasa saya tahu adalah bahwa yang terpenting adalah Allah dan apa pun yang terjadi dalam hidup dan tidak peduli seberapa banyak saya menderita karena kebodohan saya sendiri, saya akan berpegang teguh pada-Nya.

Teman sekelas saya dan saya terbang kembali ke Jamiah. Mungkin akan canggung, tetapi dia bersikap dewasa dan memahami situasi saya. Demi menghormati keluarga mereka dan tidak membiarkan mereka menunggu tanpa batas waktu, saya memberi tahu mereka bahwa jika saya tidak mendapat jawaban dalam dua minggu, mereka harus pergi.

Ketika saya kembali, meskipun saya merasa kehilangan segalanya, saya telah menemukan keterikatan kepada Allah yang saya rasa dapat saya jalani selama sisa hidup saya. Saya hanya kehilangan diri saya sendiri; saya tidak kehilangan Allah saya.

Selama waktu doa itu, saya terus berserah diri kepada Allah dan saya menemukan semua kenyamanan dalam hal itu. Saya terlalu hampa dan hancur untuk melakukan hal lain. Sekitar seminggu setelah kami kembali, ketika saya sedang berdoa, saya merasakan kepastian datang ke hati saya. Saya telah melihat beberapa mimpi, tetapi mimpi itu tidak memberi saya kedamaian hati. Ketika saya tahu bahwa Allah telah menjawab istikharah saya dan saya merasa yakin, saya berdiri untuk melaksanakan dua kali shalat sunah sebagai tanda syukur.

Namun, saya kemudian merasakan urgensi (kesegeraan) untuk mengamalkan petunjuk dari Allah ini sehingga saya membatalkan shalat itu, menelepon ibu saya, dan meminta agar ia memberi tahu keluarga mereka bahwa jawaban saya adalah “ya”.

Saya kemudian pergi ke seberang lorong dan memberi tahu teman sekelas saya bahwa saya telah memperoleh jawaban atas istikharah saya. Keyakinan dan kepentingan itu begitu jelas sehingga tidak mungkin untuk tidak menaati atau menundanya.

Kesan istri saya terhadap saya selama perjalanan itu adalah bahwa saya tampak cukup serius dan apakah saya mungkin atau tidak mungkin akan berakhir menjadi seorang pemukul istri. Alasan utamanya untuk mengatakan “ya” adalah karena kecintaannya pada Islam Ahmadiyah dan keinginannya untuk menjadi seorang waqf-e-zindegi (pengabdi seumur hidup) dan istri seorang waqf-e-zindegi.

Mengenai kecocokan, saudara laki-lakinya mengenal kami berdua dengan baik dan dia telah memberikan rekomendasinya dan prinsip-prinsip kami selaras. Tetapi pada akhirnya, tidak seorang pun tahu seberapa cocok mereka setelah bertahun-tahun menikah kecuali Allah. Saat itu, kesan saya tentang kami adalah prinsip-prinsip kami selaras, tetapi watak kami tampak sangat berbeda.

Setelah delapan tahun menikah, saya telah melihat bahwa ada beberapa hal yang saya butuhkan untuk menjadi cocok yang tidak saya ketahui, tetapi ternyata penting untuk kebahagiaan. Berkat dari satu pengalaman itu telah menjadi sumber kebahagiaan dalam kehidupan spiritual dan pernikahan sejak saat itu.

Allah Yang Mahakuasa berfirman dalam Al-Qur’an, “Yang mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan ketika ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kejahatan.” (QS. al-Naml, Bab 27: V.63)

Allah mengabulkan, tetapi tidak menurut ketentuan kita. Jika Allah mengabulkan seperti yang saya inginkan, itu tidak akan baik bagi saya. Jika Huzur (atba) menasihati saya dengan apa yang ingin saya dengar, itu tidak akan baik bagi saya. Huzur (atba) telah bersabda, “Faktanya adalah bahwa mereka yang tidak percaya kepada Tuhan tidak siap untuk mendengarkan argumen apa pun…. Ada beberapa orang yang murni secara alami, berpikiran terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan. Anda harus menjaga hubungan dengan mereka dan membawa mereka kepada Tuhan.”

Huzur (atba) melanjutkan, “Untuk melembutkan hati orang-orang, kita harus berdoa. Anda harus menunjukkan karakter baik Anda dan berbagi pengalaman pribadi Anda sehubungan dengan diterimanya doa karena bagi seseorang, hal yang paling penting adalah hubungan pribadi dengan Tuhan. Ketika Anda memberi tahu orang-orang tentang perlakuan Tuhan terhadap Anda, pengalaman langsung inilah yang membuat orang-orang terkesan.”

Kalimat berikut ini dengan tepat merangkum hakikat istikharah, “Istikharah berarti memohon khair [kebaikan] kepada Allah, yang berarti semoga Allah memberikan khair dalam perkara yang didoakan…. Allah tidak perlu memperlihatkan mimpi yang berkaitan dengan perkara tersebut atau Allah memberi tahu atau menyingkapkan sesuatu kepada Anda….”

“Jadi, kita cukup berdoa kepada Allah agar jika suatu perkara baik bagi kita, maka semoga Dia memudahkan segala sesuatunya bagi kita. Jika, setelah berdoa, hati seseorang merasa nyaman dalam perkara tersebut, maka ia dapat melanjutkan dengan rishta [lamaran pernikahan]. Kemudian, gadis yang dilamar juga harus berdoa mengenai hubungan di masa mendatang…. Jika hati gadis yang dilamar tidak puas dalam rishta ini, maka ia dapat meminta di tempat lain. Mungkin saja Allah telah merencanakan sesuatu yang lain.”

“Jadi, jangan hanya terpaku perhatian pada mimpi. Tidak perlu bagimu untuk melihat mimpi. Yang dibutuhkan adalah hati yang merasa tenteram dalam suatu perkara…. Maka, istikharah adalah shalat untuk memohon pertolongan dan petunjuk Allah, bukan memohon untuk menerima wahyu dari Allah (istikhbarah).” (Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V (atba), Al Hakam, 11 Desember 2020, hlm. 4-5)

Sumber: https://www.alhakam.org/my-search-for-a-rishta/#comment-175915

Visits: 83

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *