PESAN KESABARAN DARI KISAH NYATA KEHIDUPAN SEORANG IBU ECIH

Di sebuah desa terpencil yang terletak di Kabupaten Bekasi, setiap pagi saat mentari mulai menyebarkan sinarnya yang lembut, selalu terdengar suara nyaring Ibu Ecih menawarkan dagangannya. Ia berkeliling kampung sambil berteriak, “Ayam, ayam, ayam polos, ayam kuning, yuuuuu masak, masak!”

Ibu Ecih adalah sosok wanita tangguh. Di usianya yang telah menginjak 47 tahun, ia tetap gigih berjuang seorang diri demi menghidupi kelima anaknya yang masih kecil-kecil: Fahri (14), Riki (10), Khadijah (8), Ridho (4), dan Dede (2). Meski tidak lagi muda, semangat dan keteguhan hatinya tidak pernah luntur dalam menjalani peran sebagai ibu sekaligus tulang punggung keluarga.

Takdir baik memang sedang tidak berpihak padanya. Sekitar 15 tahun lalu, suami Ibu Ecih mengalami kecelakaan, ia terseret kereta api hingga 500 meter, yang mengakibatkan tulangnya cedera parah. Sejak saat itu, sang suami tidak lagi mampu bekerja mencari nafkah.

Dengan bermodalkan kepercayaan, Ibu Ecih diberikan kesempatan oleh temannya untuk menjual ayam. Setelah ayam terjual, barulah ia menyetorkan modalnya. Keuntungan dari berjualan ayam hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tak jarang, Ibu Ecih harus libur berjualan karena sakit, sehingga terpaksa meminjam uang atau mengutang beras dan sayuran untuk memberi makan anak-anaknya.

Mirisnya, program pemerintah di bidang pendidikan rupanya belum menyentuh semua anak bangsa yang benar-benar membutuhkan. Buktinya, tiga putra Ibu Ecih harus berhenti sekolah karena tidak ada biaya. Si sulung terpaksa berhenti di tingkat SMP karena tidak mampu membeli buku, perlengkapan sekolah, dan ongkos transportasi, mengingat jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Bahkan Riki dan Khadijah juga harus putus sekolah di tingkat SD karena sang ibu tak mampu membiayai. Sudah hampir satu tahun anak-anak Ibu Ecih tidak sekolah lagi.

Tangisan si sulung yang ingin kembali sekolah membuat Ibu Ecih semakin tertekan dan sedih. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari pun harus gali lubang tutup lubang.

Himpitan hutang semakin mencekik. Hampir setahun lalu, untuk mendaftarkan si sulung ke SMP swasta, Ibu Ecih berutang ke bank emok (rentenir). Belum lagi teriakan si bungsu, Dede, yang memecah keheningan saat susu habis. Jualan pun tak selalu mulus; seringkali Ibu Ecih harus nombok karena jualannya tidak habis. Beban hidup terasa makin berat menekan di bahunya. Namun ia tetap tabah, sabar, dan bertahan, meski nafas kadang tersengal. Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Tuhan, kapankah Tangan Kasih Sayang-Mu mengibaskan semua beban derita ini?”

Sebagai manusia biasa, Ibu Ecih kadang berkeluh kesah kepada suaminya. Namun apa hendak dikata, meskipun sejatinya seorang suami adalah tulang punggung keluarga, kondisi fisik suaminya sudah tak memungkinkan lagi. Suaminya memahami hal itu, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran:
“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena laki-laki membelanjakan sebagian dari harta mereka…” [1]

Kenyataan ini menjadi beban yang berat bagi Ibu Ecih, suaminya, dan kelima anak mereka. Namun jika mereka tetap sabar, ikhlas, istiqomah, dan terus berdoa, maka pertolongan dan keajaiban pasti akan datang. Karena janji Allah, Innallaha ma‘a ash-shabirin, Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Referensi :
[1] QS. An-Nisa : 35

Views: 179

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *