
PUSTAKA BERJALAN
Berbicara tentang dunia perpustakaan. Seiring maraknya internet dan kiprah milenial di dunia on line serta sosialisasi paperuserless buku dalam bentuk print out sudah tergeser oleh e-book. Ketika saya touring library ke suatu universitas berlantai 6, di salah satu lantai gedung perpustakaan terlihat ada room khusus dengan tulisan e-library.
Saat itu berhubung waktu yang demikian mendesak, aku belum survey langsung masuk ke room lantai 4 itu. Di ruangan itu sudah kubayangkan tentunya tidak ada ribuan buku yang terpajang di rak-rak seperti umumnya perpustakaan konvensional. Yang ada adalah jejeran meja, kursi, serta perangkat komputer lengkap dengan sistem e-library on line- nya. Ruangan full AC. Pasti tak akan terasa waktu bila kita ada di dalamnya. Tenggelam dalam lautan buku yang tak kasat mata. Tak terlihat ada satu pun buku tapi sebenarnya otak kita sedang berselancar searching jutaan buku dari berbagai penjuru dunia.
Teringat masa dulu. Saat membutuhkan buku untuk referensi karya ilmiah, harus memburu hingga ke luar kota karena bukunya hanya ada di kota tersebut. Saat kebutuhan referensi semakin meningkat, perburuan hingga harus ke luar negeri. Titip kepada teman-teman yang kebetulan sedang tugas belajar di negeri itu. Tapi itu dulu. Kini, buku dari luar negeri bisa didownload dari meja kamar kita. Canggihnya abad ini. Akses dunia bisa diraih hanya dengan ujung jari sambil tiduran di kamar. Luar biasa. Hidup serba mudah untuk Gen Z milenial di era ini namun kelabakan sungguh terasa oleh gen X dan Y, para manusia gaptek dan semi digital. Tergerus pandemi dan tuntutan zaman jadi harus menyesuaikan. Hadeuuuhhh!!! Puyeng pala Berby.
Mengenang perpustakaan sekolah. Aku kilas balik kepada kenangan indah saat bersekolah di SD. Sangat kontradiktif dengan perpustakaan era ini namun aku begitu menikmatinya. Sungguh kenangan indah. Saat itu aku sekitar kelas 3, ditunjuk jadi petugas perpustakaan sekolah. Bahagianya bisa mengurus buku dan melayani teman-teman yang rata-rata minat bacanya tinggi. Maklum, saat itu tak ada hiburan anak sekolah kecuali permainan tradisional dan buku-buku legenda. TV pun rata-rata masih hitam putih, 1 channel yaitu TVRI. Baru tayang sore hari. Begitu tentramnya masa anak-anak kami dulu tak terkontaminasi oleh game on line warnet-warnet. Jadi meskipun buku-buku stock perpustakaan sekolah hanya buku-buku legenda begitu sederhananya tapi terasa begitu menghibur dan asyik dibaca.
Ketika bel jam istirahat berbunyi, aku harus sudah siap buka perpustakaan. Ada aja teman yang lupa jadi telat mengembalikan buku. Aku sih senang-senang saja dengan kejadian itu karena artinya kas kelas akan bertambah dari denda pengembalian buku. Lumayan bisa dikelola untuk beli inventaris buku baru. Aku pribadi sebagai pengurus bebas bisa baca buku yang mana saja dan kapan saja. Kuborong buku dari sekolah dan sepulang sekolah setelah makan siang kulalap habis buku itu. Sayang sekali, stock inventaris buku di sekolahku terbatas. Kurang suplay bahan bacaan. Akhirnya aku dan teman-teman harus puas dengan mengulang-ulang lagi buku yang sudah kami baca. Waktu itu belum ada GLS (Gerakan Literasi Sekolah) jadi begitu sederhananya sistem baca tulis di sekolah.
Berbeda dengan sekarang, sejak diinformasikan bahwa berdasar survey PISA, Indonesia menduduki ranking ke-61 dari 62 negara sebagai negara dengan minat baca terendah sedunia maka kita langsung kebakaran jenggot. Sontak bangun dari bobo manisnya. Tak terima martabat negeri terinjak demikian hinanya. Gerakan GLN (Gerakan Literasi Nasional) pun disulut parah. Seluruh elemen masyarakat harus segera bangkit.
Minat baca rendah karena kurang bahan bacaan padahal profesor, doctor, praktisi, ulama, ibu-ibu bangsa begitu banyaknya bertebaran di Indonesia. Ayo semua tuangkan fikirannya dan telurkan karyanya menjadi buku sehingga para anak bangsa tidak kurang bahan bacaan dengan kearifan lokal Indonesia dan jiwa nasionalisme. Menjadi manusia cerdas versi Indonesia. Jangan ikut mengutuk rendahnya mutu negeri sendiri tanpa memberi solusi. Ayo lahirkan karya buku dari tanganmu, wahai ibu bangsa! Biarkan cinderella, snow white menjadi comparison masa lalu dan mulai ganti dengan tokoh anak Indonesia yang inspiratif.
Tiga ratus lima puluh tahun dijajah orang membuat mereka sukses membuat orang-orang Indonesia dengan potensi hebat hilang percaya dirinya sebagai orang hebat. Ibu-ibu bangsa Indonesia merasa minder membuat buku karya sendiri. Merasa diri bodoh dan tak mampu menulis buku. Akhirnya pasrah membiarkan anak negeri kurang bacaan.
Ayolah, wahai ibu bangsa! Bangkit dari mental penjajahan yang menginginkan bangsa kita bodoh dan serba minder. Beranilah untuk menulis dan percaya diri bisa membuat buku untuk negeri. Apa pun genre tulisannya, tak masalah. Yang penting penuhi perpustakaan bangsa Indonesia dan dunia dengan goresan penamu dan pikiranmu. Dalam setiap dirimu pasti ada potensi yang harus didonasikan untuk martabat bangsa. Mau memilih jadi penonton saja lalu mengkritik dan memvonis? Atau mau menjadi bagian dari solusi bangsa?
Orang yang mau berusaha menulis dan orang yang tidak mau menulis, itu jelas beda untuk kontribusi untuk masa depanĀ generasi berbangsa dan beragama. Memang, membuat buku bukan hal mudah. Tapi Tuhan akan selalu berikan jalan keluar bagi yang memiliki niat baik. Tak ada yang sulit untuk Tuhan. Proses pembimbingan akan Tuhan berikan.
There is a will, there is a way
Dimana ada kemauan, di situ ada jalan
Visits: 106
MasyaAllah, tulisan yang seru. Bu iim ,wanita yang memberikan semangat menulis bagi ibu bangsa. Saya masih terus menulis karena selalu ingat pesan beliau.”Orang yang mau berusaha menulis dan orang yang tidak mau menulis, itu jelas beda untuk kontribusi untuk masa depan generasi berbangsa dan beragama”