
Rasa Syukur sebagai Kunci Kebahagiaan
Diriwayatkan kisah Abu Qillah, seorang sahabat Nabi s.a.w. Diriwayatkan dari Abdullah bin Muhammad, “Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin. Lalu aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-laki ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya buntung, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara. Dari lisannya orang itu mengucapkan,
“Ya Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”
Kemudian aku pun menemuinya, dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?” Kemudian laki-laki pemilik kemah itu menjawab, “Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung api yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.”
Aku kembali bertanya, “Bersyukur atas apa?” Laki-laki pemilik kemah itu menjawab lagi, “Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berdzikir dan bersyukur. Di samping itu, aku juga memiliki anak yang waktu sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?”
Aku pun menyanggupinya dan pergi untuk mencari anaknya. Setelah beberapa saat mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikelilingi oleh singa. Ternyata anaknya laki-laki itu sudah dimakan oleh singa. Aku pun bingung bagaimana caraku untuk mengatakannya kepada laki-laki pemilik kemah itu. Aku pun kembali dan berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang Nabi Ayub?”
Laki-laki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.” Kemudian aku bertanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?” Ia menjawab, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Aku kembali bertanya, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub dengan kefakiran. Bagaimana keadaannya?”
Ia menjawab, “Ia bersabar.” Aku kembali bertanya, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana keadaannya?” Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.” Aku kembali bertanya, “Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?” Ia menjawab dan balik bertanya, “Ia tetap bersabar. Sekarang katakan padaku dimana anakku?”
Kemudian aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau” Kemudian laki-laki pemilik kemah ini mengatakan, “Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia diazab di neraka.”
Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal dunia. Aku pun membaringkannya di tangannya dan berpikir apa yang harus aku perbuat. Aku sendirian dan bagaimana aku mengurus jenazah ini. Kemudian aku tutupi dengan jubahku dan beberapa saat kemudian lewat empat orang laki-laki mengendarai kuda.
Mereka berkata, “Wahai saudara, apa yang terjadi padamu?” Kemudian aku pun menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami dan aku meminta bantuan kepada mereka untuk mengurus jenazah laki-laki ini. Mereka bertanya, “Siapa dia?” Lalu aku menjawab, “Aku juga tidak mengenalnya, dia dalam keadaan sakit dan memprihatinkan,”
Kemudian keempat laki-laki ini meminta untuk membuka penutup wajahnya, karena mungkin salah satu dari mereka mengenalnya. Ketika aku membuka penutup wajahnya, tiba-tiba mereka tersentak, lalu mencium dan menangisinya, dan berkata, “Subhanallah, wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah. Mata yang selalu menunduk atas apa yang diharamkan Allah. Tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur”.
Aku pun bertanya, “Kalian kenal dengan laki-laki ini?” Mereka menjawab, “Engkau tidak mengenalnya?” Aku menjawab bahwa aku tidak tau siapa laki-laki ini. Kemudian mereka berkata, “Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini pernah dimintai oleh khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.””
Dari kisah Abu Qilabah ini kita bisa belajar bagaimana mensyukuri apa pun yang kita miliki dan tetap bersabar dengan apa yang menimpa kita. Sebuah hadits yang dapat dijadikan teladan, “Menjaga air muka adalah hiasan bagi orang miskin, sebagaimana syukur adalah hiasan bagi orang kaya.” (Hadhrat Ali bin Abi Thalib ra.)
Hadits di atas mengajarkan pada kita, bahwa hendaknya kita selalu Menjaga mimik wajah tanpa memelas, meski kondisi kita penuh kekurangan, merupakan suatu wujud syukur. Mensyukuri apa yang dimiliki tanpa ada rasa mengeluh, kecewa dan sedih adalah suatu cara ampuh untuk mendapatkan hidup yang tenang dan damai.
Visits: 682