Rumah Tangga Bervisikan Akhirat

Para pembaca buku Atomic Habits pasti familiar dengan kisah ini. Seorang lelaki asal Hungaria, Laszlo Polgar, mengajak menikah seorang perempuan bernama Klara. Laszlo ingin membuktikan bahwa untuk menguasai sesuatu tidak diperlukan bakat. Mantranya, “Seorang genius tidak dilahirkan, tetapi merupakan hasil pendidikan dan pelatihan.”

Laszlo yang sangat yakin akan prinsip ini ingin mengujinya terhadap anak-anaknya sendiri. Karenanya, dia membutuhkan istri. Istri yang juga memiliki keyakinan yang sama dan kesediaan untuk menyamakan visi misinya dengan Laszlo. Dan menikahlah Laszlo dengan Klara, seorang guru yang juga mempunyai prinsip yang sama dengan Laszlo.

Mereka memiliki 3 orang anak perempuan: Susan, Sofia, dan Judit. Laszlo memutuskan untuk memilih bidang catur sebagai bahan uji cobanya kepada anak-anaknya. Mereka mendidik anak-anaknya di rumah, memenuhi rumah mereka dengan berbagai buku soal catur dan gambar-gambar pemain catur terkenal, dan melatih anak-anak mereka untuk secara terus menerus bertanding catur antara satu sama lain dan mengikuti turnamen-turnamen terbaik.

Hasilnya, Susan si sulung bermain catur di usianya yang keempat tahun. Dalam waktu 6 bulan dia berhasil mengalahkan pemain dewasa. Sofia si anak tengah lebih sukses lagi. Dalam usia 14 tahun ia berhasil menjadi juara dunia. Dan si bungsu Judit adalah yang paling hebat di antara ketiganya.

“Pada usia lima tahun ia mampu mengalahkan ayahnya. Pada usia dua belas tahun, ia pemain paling muda dalam daftar seratus pecatur terbaik dunia. Pada usia lima belas tahun empat bulan, ia menjadi grandmaster termuda sepanjang masa—lebih muda daripada Bobby Fischer, pemegang rekor sebelumnya. Selama 27 tahun, ia pecatur perempuan peringkat satu di dunia.” [1]

Ketika diwawancara, Susan, Sofia, dan Judit mengatakan bahwa mereka menikmati bermain catur. Clear kemudian menyatakan, “Tiga bersaudari Polgar tumbuh dalam budaya yang mengutamakan catur di atas segala hal lain—mendapat pujian karena kegiatan itu, mendapat ganjaran karena prestasi di bidang itu. Dalam dunia mereka, obsesi terhadap catur dianggap normal.” [2]

Kisah keberhasilan Laszlo membuktikan teorinya pada anak-anaknya, paling tidak membuktikan satu hal. Visi misi yang jelas, konsistensi dalam usaha untuk mewujudkannya, dan menjadikannya budaya dalam keluarga, menjadikan tujuan dibangunnya sebuah rumah tangga dapat tercapai. Begitu pula dalam rumah tangga dengan visi misi akhirat.

Islam mengajarkan umatnya untuk melandaskan pernikahan di atas akar kerohanian. Hadhrat Rasulullah saw. bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka dapatkanlah berkah dengan menikahi wanita yang taat beragama, (kalau tidak) maka kamu akan merugi.” [3]

Ketika agama menjadi landasan pernikahan, di mana sang orang tua juga senantiasa belajar dan sama-sama melakukan perbaikan, maka insyaallah keturunan yang demikian pulalah yang akan dihasilkan. Ketika agama telah menjelma menjadi budaya dalam keluarga dan orang tua mampu menampilkan teladan luar biasa dalam akhlak, amalan, dan ibadah, maka insyaallah manusia-manusia demikianlah yang akan lahir di dunia.

Jika seorang Laszlo bisa menjadikan anak-anaknya luar biasa dalam bidang catur, dalam bidang keduniawian, maka kita pun bisa mencetak manusia-manusia yang unggul dalam bidang kerohanian. Apalagi, pernikahan yang dilandaskan pada akar kerohanian sejatinya sesuai dengan tujuan penciptaan kita, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana usaha-usaha duniawi mampu menarik ganjaran kesuksesan dari-Nya, maka insyaallah usaha-usaha akhirat pun akan mampu menarik ganjaran kesuksesan dan berkah dari-Nya. Aamiin.

 

Referensi:

[1] Atomic Habits oleh James Clear, terbitan Gramedia, halaman 130

[2] Atomic Habits oleh James Clear, terbitan Gramedia, halaman 131

[3] HR. Bukhari dan Muslim

Visits: 78

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *