
Tidak Berlebih-lebihan dalam Agama
Di dalam bukunya, The Looming Tower, Lawrence Wright menceritakan jalan panjang yang bermuara pada satu kejadian terorisme paling mengejutkan dalam sejarah. Yakni, dihantamnya dua gedung Menara Kembar World Trade Center di New York City oleh dua pesawat pada tanggal 11 September 2001.
Usama bin Laden, tokoh sentral di balik serangan tersebut, dipengaruhi sosok-sosok lainnya dalam pembentukan pemikiran radikalnya. Sayyid Qutb dan Ayman Al-Zawahiri adalah salah duanya. Baik Sayyid Qutb, Ayman Al-Zawahiri, dan Usama bin Laden sesungguhnya adalah orang-orang yang tekun dalam ibadahnya. Namun, bagaimana orang-orang yang tekun dalam beribadah ini bisa sedemikian radikal dalam keyakinannya?
Hadhrat Rasulullah saw. pernah menyatakan, “Agama itu mudah, tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama itu kecuali dia pasti akan dikalahkan. Maka, bersedang-sedanglah kalian dalam beramal, dan kerjakanlah perbuatan yang mendekati kebenaran serta bergembiralah. Mohonlah pertolongan dengan mengerjakan amalan, baik di waktu pagi, sore, ataupun di akhir waktu malam.” [1]
Dalam penjelasannya, Hadhrat Rasulullah saw. menyatakan, “illa ghalabahu, maksudnya agama akan mengalahkannya, yaitu orang tersebut tidak mampu untuk menghadapi agama dengan cara berlebih-lebihan dalam mengamalkannya, karena dalam agama banyak jalan (amalan) yang harus dikerjakan.” [2]
Berlebih-lebihan tak mendatangkan kebaikan. Begitupun berlebih-lebihan dalam agama. Ketika manusia berlebihan dalam sesuatu, pasti ada hal lain yang ia kesampingkan atau telantarkan. Sementara, ada begitu banyak amalan dan perintah dalam Al-Qur’an yang harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan.
Dalam kasus Sayyid Qutb, Ayman Al-Zawahiri, dan Usama bin Laden, ketiganya adalah contoh berlebih-lebihan dalam agama, karena mereka mengesampingkan amalan lainnya yang sesungguhnya diajarkan oleh Al-Qur’an. Ajaran cinta kasih kepada sesama, saling menghargai, dan saling menasehati dengan cara yang baik adalah amalan yang juga diperintahkan oleh Al-Qur’an.
Potensi untuk berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk dalam agama, memang telah tertanam dalam jiwa manusia. Hari-hari ini kita menyaksikan berlebih-lebihan dalam ketamakan, kesombongan, dan penyakit hati lainnya yang menggerogoti dunia. Mungkin kita tidak menyangka bahwa berlebih-lebihan dalam agama itu ada.
Namun, bila Hadhrat Rasulullah saw. sendiri, yang hidup kurang lebih 1400an tahun lalu menyatakan sabda tersebut, artinya potensi itu memang sudah menjadi fitrah manusia. Melalui sabda beliau saw. tersebut kita kembali diingatkan pentingnya menahan diri dan menguatkan kemampuan untuk mengelola diri sendiri, termasuk dalam mengamalkan agama dalam hidup kita.
Jangan sampai, apa yang kita anggap baik ternyata justru buruk dalam pandangan Allah Ta’ala. Dalam setiap langkah kita hendaknya kita berhati-hati dan selalu memohon petunjuk kepada-Nya. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang kalah karena berlebih-lebihan dalam agama.
Referensi:
[1] HR. Bukhari
[2] Terjemahan Lengkap Riyadush Shalihin oleh Imam Nawawi Jilid 1, hlm. 176
Visits: 75