
Upaya Melawan Musuh Terbesar dalam Diri
Psikolog klinis, Ryan Howes Ph.D mengatakan, setiap orang memiliki cara yang unik dan berbeda untuk menghadapi dan menjalani hidupnya. Respon yang ditimbulkan dari diri sendiri tentunya akan menimbulkan efek yang beragam. Ada yang melewatinya dengan baik, namun tak jarang juga mereka yang tidak memahami diri sendiri melakukan respon yang justru memberikan efek negatif.
Imam Ghazali pernah berkata, “Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku dan dan terkadang menentangku.”
Dalam suatu kisah, setelah menyelesaikan peperangan yang amat dahsyat, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kepada para sahabatnya, bahwa mereka baru saja menyelesaikan perang kecil dan segera akan menghadapi perang yang lebih besar lagi. Atas pernyataan itu, para sahabat menanyakannya tentang perang yang dimaksud. Nabi SAW menjawab bahwa perang yang lebih besar sebagaimana disebutkan itu adalah perang melawan hawa nafsu.
Perang melawan hawa nafsu merupakan peperangan melawan musuh yang berasal dari dirinya sendiri. Musuh berupa hawa nafsu sebenarnya memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyat, dan bahkan resikonya juga amat berat, yakni hingga ke akhirat kelak. Hawa nafsu mendorong manusia untuk bersikap takabur, riya’, iri hati, hasut, bakhil, permusuhan, fitnah, dendam, berbohong, dan penyakit hati lainya. Semua itu merupakan kekuatan yang mampu menghancurkan diri seseorang.
Melakukan refleksi untuk memahami diri memang acap tak mudah, karena jujur menguliti diri merupakan sebuah kegiatan yang tak menyenangkan. Seperti kata Pepatah, “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak.” Pepatah ini mengisyaratkan bahwa begitu susahnya untuk melihat dan menilai kesalahan yang ada pada diri sendiri.
Musuh terbesar yang harus dikalahkan adalah diri sendiri. Seorang pemenang adalah orang yang sanggup mengalahkan diri sendiri, sebelum mengalahkan orang lain. ‘Kalahkanlah dirimu sedemikian rupa sampai orang lain tidak sanggup mengalahkanmu.’
Kita tidak bisa memilih hidup kita akan sepahit apa dan tidak bisa mengatur hidup untuk selalu berada di atas. Kondisi kehidupan manusia tidak statis namun dinamis. Ada kalanya akan melewati suatu kondisi yang akan membuatnya senantiasa bersyukur, namun di sisi lain akan ada kondisi yang justru menyakiti diri sendiri ketika segalanya tidak sesuai apa yang diharapkan. Menangis, tertawa, sehat, sakit, sedih, bahagia, suatu rasa yang silih berganti.
Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Tetapi sahabat terbaik manusia pun dirinya sendiri. Kitalah yang memilih apakah diri sendiri akan menjadi musuh atau sahabat terbaik. Sebagaimana ular dinamai pembunuh, nafsu amarah yang senantiasa menuntun manusia pada keburukan juga disebut pembunuh. Tidak akan ada obatnya kecuali di tangan Yang Menciptakannya. Dengan kata lain hanya Allah yang memiliki obat untuk menyembuhkannya.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Kondisi hati manusia tidak selamanya sama, terkadang lapang dan sempit. Beliau mengajarkan doa agar banyak-banyaklah istighfar dan banyak-banyak baca shalawat. Berkali-kalilah dirikan shalat. Inilah cara pengobatan untuk menghilangkan kondisi hati yang sempit.” (Malfuzat, jld.V hlm.10)
Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih banyak belajar mengenali diri sendiri, ketimbang menilai orang lain, untuk menggapai kebahagiaan hakiki. Karena berusaha mengenali diri sendiri adalah langkah awal agar kita lebih mengenali Allah SWT.
Views: 1141