Menemukan Hidayah yang Membuat Mereka Berubah

Mama saya terlahir dari keluarga yang taat beribadah. Kakek dan nenek adalah pengikut suluk, yakni tarekat yang begitu kental dengan dzikir kepada Allah. Setelah mamah menikah, semua berubah. Keluarga kami sudah mulai lupa cara beribadah.

Kami sering merantau ke banyak daerah. Satu tempat yang amat berkesan. Karena di tempat inilah, jalan hidayah dari-Nya turun kepada keluarga kami. Tempat tersebut bernama, Simpang Kanan.

Simpang Kanan jauh dari hiruk pikuk kendaraan. Suasananya damai juga tenteram. Tempat ini belum tersentuh kemajuan zaman.

Di tempat ini, abang saya bertemu dengan seorang Ahmadi. Ia rajin bertabligh kepada abang. Diberikanlah banyak buku tentang Jemaat Ahmadiyah.

Semakin dipelajari, semakin hati abang saya tertarik pada kebenaran Jemaat. Hingga abang disuruh untuk shalat istikharah meminta petunjuk dari Allah. Akhirnya, abang bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.

Ia masuk tak satupun dari kami yang tahu. Lama-lama, mamah dan kakak curiga. Sebab, ada yang berubah dari tingkah laku abang saya. Yang dulunya pemarah, abang kini jadi penyabar. 

Setelah tahu yang menyebabkan perubahan dalam diri abang adalah karena masuk Jemaat. Mamah dan kakak mulai membaca buku-buku Jemaat secara diam-diam.

Tiba-tiba, mamah jadi ingat pesan kakek dulu, “Kalau Imam Mahdi datang, kalian jangan berdiri, tapi merunduklah karena pedang Imam Mahdi itu sangat tajam.”

Mamah menyimpulkan bahwa yang dimaksud pedang itu adalah buku-buku Hazrat Imam Mahdi, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Karena setelah mamah baca, untaian kata beliau benar-benar menghujam ke kalbu. Begitu tajamnya hingga menebas kekotoran dalam diri.

Akhirnya, mamah dan kakak pun bai’at.

Ayah belum tahu kalau istri dan dua anaknya telah masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah. Tapi selang beberapa bulan, ayah pun tahu juga. 

Buntut dari bai’atnya tiga orang tersebut, ayah hampir menceraikan mamah. Kehidupan kami pun jadi tak menentu. Tiada hari tanpa pertengkaran antara ayah dengan mamah.

Saat itu, abang tak berani tabligh ke ayah. Karena ilmu agama ayah, yang meski ia tidak pernah ibadah, cukup dalam. Bahkan, kelompok-kelompok tarekat seperti Naqsabandiyah tak ada yang benar di hati ayah.

Ayah sangat jauh dari Tuhan. Ia mempelajari ilmu hitam. Sehari-hari bergaul dengan setan. Pernah suatu ketika mamah kena patuk ular berbisa. Ayah bisa memanggil ular tersebut dan menyuruhnya untuk mengambil kembali bisanya.

Abang berfikir, gimana caranya agar ayah bisa mencicipi hidayah yang sama dengan mereka. Akhirnya, tercetuslah ide untuk meletakkan buku-buku Jemaat di atas meja. 

Rupanya, cara tersebut efektif. Ayah mulai membaca buku-buku Jemaat meskipun secara diam-diam. Laki-laki tentu mempertahankan prinsipnya, sesalah apapun jalan yang diambil.

Lambat laun, ayah jadi semakin asyik dalam membaca. Semua buku ia lahap seperti orang yang tengah kehausan di tengah padang gurun. Ayah seolah menemukan oase kebenaran yang selama ini tak pernah hadir dalam kalbunya.

Hingga ayah benar-benar jatuh hati pada Jemaat setelah membaca sepuluh syarat bai’at masuk kedalam Jemaat. Dalam hati ia berujar, kalau gitu Ahmadiyah tidak sesat seperti yang orang-orang katakan.

Dan disitulah dentuman besar dalam hidupnya terjadi. Ayah mulai mengalami banyak perubahan.

Ia mulai berbicara dengan lemah lembut. Atmosfir perubahan tersebut begitu terasa dan menenteramkan bahtera keluarga kami yang kemarin-kemarin diterpa kemarau yang berkepanjangan.

Ayah mulai rajin shalat lima waktu. Membaca Quran pun tak luput. Bahkan, ia jadi sering menegakkan shalat tahajud untuk meminta petunjuk, jika memang Jemaat ini benar.

Akhirnya, ayah pun bai’at masuk ke dalam Jemaat bersama saya. Saya ingat betul saat itu. Air mata ayah bercucuran deras. Membahasi pipinya. Ia layaknya anak kecil, tersedu-sedu menyesali kekeliruan yang selama ini dilakukannya. Betapa sesatnya aku selama ini, katanya.

Kami merasakan sosok baru dari sang nakhoda di bahtera keluarga kami. Ayah menjadi sosok yang penyabar. Ia demikian sayang dengan keluarganya.

Saat kami bai’at bertepatan dengan kedatangan Huzur IV rh ke Indonesia pada tahun 2000. Hingga datangnya kabar itu, membuat abang ingin sekali bertemu dengan sosok Khalifah.

Abang pun mulai giat bekerja untuk bertemu beliau. Tapi, usaha yang ditempuhnya tak jua memadai untuk memberangkatkan semua anggota keluarga ke Padang. Itupun kami sudah mengirit-irit pengeluaran belanja.

Melihat perubahan ayah, abang memutuskan untuk memberangkatkan ayah saja ke Padang untuk bertemu Huzur tercinta. Dan saya tak pernah bisa membayangkan, betapa bahagianya ayah saat itu.

Hingga kesempatan mulaqat itu datang. Setiap anggota Jemaat dipersilahkan untuk salaman dan berpelukan dengan Huzur.

Belum sampai giliran ayah untuk salaman. Mata ayah sudah tak sanggup menahan gejolak emosi yang menyeruak dari kedalaman batinnya. Jantungnya berdebar-bebar. Rasa haru menyelemuti kalbunya. Kalaupun ia harus mati saat itu untuk Huzur, mungkin itu jalan hidup terbaik yang mesti ia tempuh.

Hingga tibalah giliran ayah bersalaman dengan Huzur. Air mata pun makin deras menetes. Jatuh tepat di tangan beberkat Huzur. Saat ayah ingin mengelap tetesan penuh cinta air matanya, Huzur melarangnya dan langsung memeluknya demikian erat.

Meledaklah emosinya. Tak pernah ayah merasakan rasa cinta yang demikian kuatnya antara seorang manusia dengan kekasihnya. Rasa cinta yang tak ada yang lain selain surga.

Rasa cinta itulah, yang kini membuat ayah tak pernah lelah untuk bertabligh. Untuk menabuh genderang kebenaran kepada setiap orang. Dengan membawa sebuah pesan tentang nikmatnya hidayah yang membuatmu berubah.

 

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 66

Lesty Yuana

5 thoughts on “Menemukan Hidayah yang Membuat Mereka Berubah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *