Sejumput Kenangan Berharga: Masjid Petojo Udik dan Kharisma Tuan Utusan

Bagian Pertama

Sabtu, 29 Agustus 2020. Dalam sebuah obrolan ringan di kantor Tim Tabligh Online Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Entah mengapa obrolan jadi membahas soal asal muasal Masjid Al-Hidayah Jalan Balikpapan I nomor 10.

Iftikar Ahmad, generasi keempat dari Bapak Acep Bermawi, yakni salah seorang awalin Jemaat yang baiat sekitar tahun 1933, menceritakan sejumput kisah yang didapatnya dari Ny. Aisah Bermawi, anak dari Bapak Acep Bermawi. Bahwa tanah Masjid Balikpapan dibeli dari seorang tuan tanah Arab kaya raya pada masa itu.

Iftikar yang biasa disapa Iki menawarkan untuk menggali kisah-kisah tersebut kepada neneknya. Saya pun tertarik. Bukan cuma soal sejarahnya, tapi pasti selalu ada potret unik dalam kehidupan para Ahmadi di masa awal.

Kami pun mengatur jadwal untuk berbincang dengan Ny. Aisah Bermawi yang kini berusia menjelang 91 tahun. Akhirnya, pertemuan tersebut berlansung pada Minggu, 6 September 2020.

Pada pukul 09.30 WIB saya dan Iki tiba di daerah Lebak Bulus, di kediaman Ny. Aisah Bermawi. Di usia yang hampir seabad, beliau masih energik. Pendengarannya masih bagus. Juga ingatannya yang mampu menembus tahun-tahun dimana Jemaat masih baru lahir di Batavia.

Padahal, ketika Bapak Acep Bermawi masuk Jemaat, saat itu beliau baru berumur 3 tahun. Tapi masih terekam kuat momen-momen saat mengikuti kegiatan di gang Kleycamp, Pasar Baru.

Ny. Aisah membawa sebuah bundel yang berisi tulisan-tulisan beliau tentang perjalanan hidupnya. Beliau rajin menulis dan kuat membaca. Beliau tunjukkan lemari berisi buku-bukunya kepada kami.

Mungkin inilah yang membuat daya ingat dan daya tangkapnya masih normal. Hingga saya berkesimpulan, berliterasi rupanya dapat menunda kepikunan.

Beberapa pertanyaan mulai saya ajukan. Beliau tak membutuhkan waktu lama untuk menggali setiap informasi tentang masa-masa 80 tahun silam.

Tahun 1928 Bapak Acep Bermawi pindah ke Jalan Petojo Ilir gg. 4 No. 22. Di akhir tahun 1936, Tuan Rahmat Ali HAOT yang biasa dipanggil Tuan Utusan pergi cuti selama setahun kembali ke Qadian. Pusat kegiatan Jemaat di gg. Kleycamp akhirnya dikosongkan.

Bapak Acep Bermawi menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat berkumpul sementara. Kegiatan Jemaat pun akhirnya dilaksanakan di rumah beliau yang pada tahun itu didaulat sebagai Ketua Cabang Batavia menggantikan R. Kartaatmaja.

Ny. Aisah mengenang masa-masa itu ketika rumahnya ramai didatangi anggota Jemaat. Setiap Sabtu-Minggu orang-orang berkumpul untuk mengikuti kegiatan. Beliau tak terlalu paham kegiatan seperti apa yang dilakukan, karena saat itu masih berusia 6 tahun.

Yang berkesan adalah saat pelaksaan shalat Id. Demikian banyak anggota Jemaat yang ikut sampai ke pagar rumah. Padahal, kamar-kamar dan ruangan-ruangan di dalam rumah sudah dipakai untuk shalat, tapi masih tak muat juga.

Itulah sebabnya, urgensi untuk memiliki sebuah masjid sebagai pusat tabligh dan tarbiyat sangat dirasakan. Bapak Acep Bermawi yang kebetulan bekerja sebagai “Pengawas Bangunan” (sekarang mungkin Dinas Tata Ruang) juga sekaligus Ketua Cabang Batavia saat itu bertugas untuk mencari lokasi pembangunan masjid dibantu oleh Bapak M. Usman Natawijaya dan Bapak Sirati Kohongia.

Tugas Bapak Acep Bermawi di Dinas Tata Ruang adalah mengawasi bangunan-bangunan yang dibangun. Apakah sudah sesuai peruntukan atau belum. Belanda sangat ketat dengan masalah ini. Yang tidak sesuai peruntukan atau menyalahi ketentuan akan langsung dirobohkan.

Rupanya, inilah nanti yang mempermudah Jemaat untuk mendapatkan tanah, sekaligus membangun sebuah masjid. Di sebuah kawasan elite yang sekarang bernama Jalan Balikpapan I.

Kawasan Petojo Udik yang kini menjadi Petojo Selatan merupakan pemukiman mewah saat itu. Banyak rumah gedong yang dibangun dengan arsitektur Belanda. Dan hingga kini, kawasan tersebut masih terbilang elite di lingkungan Petojo, baik Petojo Utara maupun Petojo Selatan.

Singkat cerita, Bapak Acep Bermawi mendapati sebidang tanah milik seorang tuan tanah Arab kaya raya. Beliau menyampaikan keinginannya untuk membeli tanah miliknya untuk dijadikan masjid. Karena memiliki kedekatan juga sering terlibat dalam urusan-urusan administrasi dengan Bapak Acep, tuan tanah Arab tadi mengatakan, ambil saja yang tuan mau.

Menghindari permasalahan di masa mendatang, Bapak Acep menyampaikan, saya akan membelinya.

Tuan tanah Arab tersebut mengatakan, ini karena tuan yang beli makanya saya jual, kalau bukan tuan saya tidak akan jual tanah tersebut.

Akhirnya, dapatlah sebidang tanah yang siap untuk didirikan masjid, yang mana dananya didapat dari iuran para anggota Jemaat tetapi transaksi jual belinya atas nama Bapak Acep Bermawi. Di kemudian hari disaat Bapak Moertolo, SH. bertugas di Pengurus Besar saat itu, kepemilikan tanah tersebut telah sepenuhnya diserahkan oleh ahli waris Acep Bermawi kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Pada masa itu perizinan untuk membangun masjid sangat sulit. Sehingga, di atas tanah tersebut dibangun yang namanya “Club Gebouw” yakni tempat berkumpul atau gedung serba guna.

Ny. Aisah yang biasa disapa Ibu Ngenget menceritakan bahwa proses pembangunan gedung serba guna dan rumah missi untuk Tuan Utusan tidak mudah. Jemaat saat itu masih sangat sedikit. Keuangan Jemaat hanya didapat dari iuran (candah) anggota. Jadi setiap hari libur, para anggota, baik bapak-bapak, ibu-ibu, para pemuda dan anak-anak melakukan “Wikari Amal” atau kerja bakti bersama.

Lantainya saat itu hanya berupa pluran. Karena untuk membeli tegel membutuhkan dana yang tak sedikit. Bahkan dinding pun hanya setengah tembok. Bagian atasnya berupa papan-papan bekas bongkaran Pasar Gambir.

Acara Pasar Gambir dilaksanakan setiap liburan bulan Juli-Agustus. Disana selalu dibuat bangunan tidak permanen untuk kios-kios yang terbuat dari papan, tiang dan atap rumbia. Setelah acara Pasar Gambir selesai bangunan itu dirobohkan. Gambir dibersihkan dan dikembalikan seperti semula.

Ibu Ngenget menceritakan, dikarenakan dana yang sedikit, Bapak Acep Bermawi membeli sisa-sisa papan dan tiang bekas Pasar Gambir. Saat papan tersebut dipasang, bekas cat yang berwarna-warni itu membuat masjid tak sedap dipandang. Meski, tak lama setelahnya, papan-papan tersebut dicat warna putih.

Pada 20 Februari 1937, Club Gebouw yang menjadi cikal bakal Masjid Al-Hidayah Jalan Balikpapan I diresmikan oleh R. Kartaatmaja, selaku Wakil Amir Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia. Saat peresmian tersebut Tuan Rahmat Ali HAOT belum kembali dari cutinya.

Inilah gambaran bagaimana para anggota awalin, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, telah memperlihatkan pengorbanan yang luar biasa untuk mendirikan sebuah pusat missi pertablighan Jemaat ke seluruh tanah air.

Dari Masjid Al-Hidayah inilah pertablighan Jemaat mulai merambah ke daerah-daerah Jawa Barat mulai dari Bogor, Tangerang, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sukabumi dan seterusnya.

Dan saya ingin menceritakan satu hal lagi. Kali ini lebih kepada sosok Tuan Utusan, Maulvi Rahmat Ali HAOT dan hubungannya dengan kelurga Bapak Acep Bermawi, khususnya kepada Ny. Aisah Bermawi. Dimana beliau satu-satunya keturunan Bapak Acep Bermawi yang anak keturunannya masih terjaga silsilah Kejemaatannya.

InsyaAllah, pada bagian kedua akan saya ceritakan kisahnya.

.

.

.

dikisahkan langsung oleh: Ny. Aisah Bermawi

data-data dikuatkan oleh: Buku “Bunga Rampai Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1925-2000

ditulis oleh: Muhammad Nurdin

Visits: 110

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

1 thought on “Sejumput Kenangan Berharga: Masjid Petojo Udik dan Kharisma Tuan Utusan

  1. Masya Allah.. membaca kisah Bu Aisah, adalah sebuah inspirasi bagaimana membaca dan menulis tidak saja mengabadikan ingatan dalam sejarah, tetapi juga menjaga kenangan dalam memori kita sendiri. Semoga di masa tua nanti, bila Allah Ta’ala mengaruniakan usia panjang untuk saya, saya bisa mengikuti jejak beliau untuk tetap rajin membaca dan menulis, agar kenangan bisa terjaga lebih lama dalam memori dan bisa menjadi warisan untuk anak cucu di kemudian hari. Aamiin Allaahumma Aamiin..

    Dan perjuangan para awwalin semoga bisa senantiasa menjadi pengingat sekaligus penyemangat bagi generasi muda di masa kini dan seterusnya. Semoga bisa menjadi sarana bersyukur bagi kita semua, bahwa kini kita tinggal memetik buah perjuangan para awwalin dengan menguatkan tarbiyat untuk kita sendiri dan anak keturunan kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *