
Baiat Setelah Menyaksikan Penggenapan Janji Allah kepada Imam Zaman
Semua kisah tentang pengembaraan spiritual saya hingga menjadi seorang Ahmadi Muslim berawal dari kesibukan istri saya yang waktu itu sebagai ibu rumah tangga juga pengurus perwiridan ibu-ibu setiap hari Jum’at.
Istri saya bertahun-tahun belajar mengaji kepada seorang anggota PERSIS. Suatu hal yang mengejutkan terjadi. Baru 1 tahun mengenal Ahmadiyah istri saya malah meminta izin untuk berbaiat.
Akhirnya, di sekitar bulan Juli 2001 istri saya masuk ke dalam Ahmadiyah, dengan catatan jangan memaksa saya untuk ikut. Karena itu hak asasi setiap orang, meskipun suami sendiri.
Karena waktu itu saya tidak setuju dengan Ahmadiyah pada masalah kenabiannya. Karena saya berkeyakinan bahwa tidak ada nabi lagi sesudah nabi Muhammad Saw.
Istri saya baiat setelah melakukan shalat istikharah. Itulah mengapa saya tak pernah melarang dia untuk baiat. Setiap kali istri saya bermimpi setelah melakukan shalat istikharah, dia selalu bercerita kepada mubaligh Ahmadiyah, dan ditakwilkan setiap mimpi-mimpinya. Hingga 15 kali shalat Istikharah, namun hanya 3 kali dapat mimpi.
Setiap takwil yang ia ceritakan kepada saya selalu saya tolak. Karena saya tetap berpegang pada keyakinan bahwa tidak ada lagi Nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw.
Setiap kali istri saya ceritakan tentang takwil mimpinya yang diartikan oleh mubaligh, saya jawab dengan nada sinis bahwa tentu saja mubaligh itu pandai menakwilkan mimpi istri saya yang bagus-bagus, ibarat orang jualan Jamu, ia harus pandai mengiklankan jamunya.
Beberapa bulan setelah istri baiat, saya diundang di acara khitanan tetangga. Begitu pulang dari acara tersebut, tetangga saya yang berasal dari “kota SB” berkata, “Kita jangan pernah ikut-ikutan Ahmadiyah, itu aliran sesat, kafir, aku sudah tau di kampung asalku banyak orang yang sesat seperti itu.”
Setelah beberapa bulan sejak istri saya baiat, di majlis perwiridan istri saya dikucilkan oleh teman dan ustadnya.
Meskipun saya menolak ajaran atau akidah Ahmadiyah, namun setiap istri ada kegiatan Kejemaatan saya selalu mengantarnya. Karena istri saya tidak pandai bersepeda sendiri.
Alih-alih mengantarkan istri, akhirnya setiap kegiatan Kejemaatan saya pasti hadir juga.
Suatu ketika Jemaat mengadakan acara Siratun Nabi dengan mengundang beberapa orang non-Ahmadi, termasuk saya. Masih terngiang-ngiang di telinga saya kata-kata Mubaligh Mln. Muslim Barus, yang ceramah waktu itu, tentang kisah para Nabi dan janji Allah Ta’ala kepada para Nabi-Nya.
Termasuk janji kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, “Barang siapa yang menghinakan engkau maka akan aku hinakan,” kurang lebih demikian. Kontan saja saya langsung teringat suatu peristiwa yang terjadi ketika Istri saya baru baiat.
Dan saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana janji tersebut zahir. Hingga akhirnya, hal itu merubah pendirian saya tentang Jemaat Ahmadiyah. Bahwa Jemaat Ahmadiyah pasti membawa kebenaran.
Saya menyaksikan bagaimana tetangga saya yang berasal dari “kota SB” yang suka memprovokasi warga termasuk saya suaminya sendiri, ia diusir dari desa dimana kami tinggal, karena melakukan suatu aib yang memalukan yang tak perlu dijelaskan disini.
Akhirnya, di bulan Februari 2002 saya menyusul istri baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah sebelum anak kami yang kedua lahir. Alhamdulillah berkat “air jamu samawi” yang diberikan oleh mubaligh Ahmadiyah saya menjadi seorang Ahmadi.
.
.
.
Diceritakan oleh: Abdul Latif
Ditulis oleh: Bunda Ngatinem
Editor: Muhammad Nurdin
Visits: 363