Keterkaitan Ilmu dan Amal

Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang hamba, kita dituntut untuk hidup sebaik-baiknya. Maksudnya adalah bahwa kita harus menyoroti segala larangan dan juga segala kewajiban yang dikenakan kepada diri kita. Memang hakikat seorang hamba adalah menghamba kepada tuannya yaitu dalam konteks ini adalah Allah SWT. 

Namun sebenarnya di balik kewajiban yang Allah SWT. tetapkan, justru ada kebaikan bagi hamba tersebut. Seperti halnya shalat. Walaupun disematkan kewajiban atasnya namun justru shalat itu sendiri mengandung kebaikan-kebaikan bagi orang-orang yang menjalankannya secara dawam. 

“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al – Ankabuut: 45)

Ini menjadi arti bahwa sebenarnya menghamba kepada Allah bukan berarti bahwa Dia membutuhkan segala usaha hamba-Nya. Justru kewajiban yang Ia perintahkan adalah kebaikan bagi hamba-hamba-Nya itu sendiri. 

Bila shalat, mengaji, dan kewajiban lain bisa dikategorikan sebagai ibadah dan bernilai kebaikan, ada kewajiban yang belum bisa dinilai sebagai ibadah atau kebaikan secara langsung, yaitu mencari ilmu. Mencari ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat muslim, sebagaimana dalam hadits dikatakan, “Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Thabrani)

Namun ilmu akan bernilai menjadi ibadah bila ilmu yang telah kita dapatkan selanjutnya diimplementasikan di kehidupan sehari-hari atau kita sampaikan kepada orang-orang yang belum mengetahui. Atau dengan kata lain, ilmu yang kita dapatkan kemudian kita amalkan.

Dari mencari ilmu kita dipertemukan dengan segala anjuran-anjuran yang secara langsung Allah swt. firmankan. Tentu segala anjuran ini bermuara kepada perbaikan-perbaikan akhlak seorang Muslim agar menjadi Muslim yang taat.

Namun bila ilmu itu tidak diamalkan secara baik atau bahkan tidak diamalkan sama sekali, tentu tidak menghasilkan apa-apa selain kesia-siaan. Sebagaimana Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. bersabda, “Tanpa ilmu, amal itu tidak ada gunanya. Sedangkan ilmu tanpa amal adalah hal sia-sia.”

Hal ini pun pernah disampaikan oleh Hadhrat Khalifatul Masih IV atba. pada Khutbah Jum’at tanggal 10 Januari 2014 di Masjid Baitul Futuh, UK. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra. menjelaskan dengan sangat indah bahwa dalam rangka memperbaiki amal perbuatan kita, kita perlu menanamkan tiga aspek sebagai berikut: kekuatan tekad, pengetahuan dan kekuatan untuk melaksanakan dengan benar dan tepat. 

Kekuatan utama dan fundamental adalah hanya yang pertama dan yang ketiga. Sementara aspek tengah, pengetahuan yang benar dan tepat, mempengaruhi keduanya.

  1. Tekad, merupakan kemampuan akan hal yang besar, 
  2. Pengetahuan, sehingga kekuatan tekad kita menyadari tanggung jawabnya dalam hal apa yang salah dan apa yang benar dan mendukung apa yang benar dan berusaha untuk mengikutinya dan tidak kalah karena ketidaktahuan. 
  3. Kekuatan, kita membutuhkan kekuatan untuk melaksanakan sesuatu sehingga anggota badan kita mengikuti niat baik kita dan tidak menolak niat baik apa yang diperintahkan untuk melakukannya. Ini adalah sumber fundamental untuk keluar dari dosa dan memperbaiki amal perbuatan.

Ini menjadi arti bahwa terlepas mencari ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat Muslim, namun yang perlu diperhatikan adalah kebaikan yang dibawa oleh ilmu-ilmu yang kita peroleh. Minimal, bila antara ilmu dan pengamalannya berjalan selaras, maka perbaikan akhlak dapat terwujud. Apalagi bila selain diamalkan oleh diri sendiri, disebarkan pula kepada orang banyak.

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda, “Ingatlah, kata-kata dan ungkapan saja tidak bermanfaat kecuali diikuti dengan amal perbuatan.” (Malfuzhaat, jilid awwal, halaman 48, edisi 2003, terbitan Rabwah).

 

Views: 205

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *