
Hindari Prasangka dengan Etika
Seorang pria tersenyum sumringah sambil menatap layar smartphone. “Kelihatannya bahagia sekali, Mas. Chattingan sama siapa sih?” tanya sang istri.
“Bukan siapa-siapa kok, cuma mantan teman kuliah. Kami sudah lama hilang kontak, baru saja ketemu lagi lewat aplikasi ini,” jawab sang suami sedikit gelagapan.
“Kok baru sih, bukannya sudah sejak beberapa bulan yang lalu ya chattingannya? Hati-hati lho, Mas. Jujur saja, jaga diri, jaga hati,” ujar sang istri.
“Kok kamu punya prasangka seperti itu sih, Dik?! Dia sudah punya suami loh. Kami hanya sekedar bertanya kabar saja, nggak lebih!” nada suara sang suami mulai meninggi.
“Syaitan itu ada dimana-mana, Mas. Tidak memandang kita sudah menikah atau masih jomblo. Bukankah Islam sudah jelas memerintahkan kita untuk menjaga pardah? Menjaga batasan hubungan dengan yang bukan muhrim? Mau dia sudah bersuami atau masih single, wanita itu tetap bukan muhrimnya Mas, kan? Wajar dong kalau aku curiga. Beberapa waktu lalu, aku pinjam HP Mas, semua chatnya Mas hapus. Biasanya kita buka smartphone dengan santai bareng-bareng. Tapi belakangan ini Mas terlihat sembunyi-sembunyi. Khawatir sekali kalau smartphonenya tergeletak sembarangan atau aku pinjam.” Sang suami terdiam.
“Aku minta maaf, Mas. Tapi bagaimana jika seandainya aku yang Mas dapati berbuat seperti itu, apa Mas tidak curiga? Apa dalam hati Mas tidak timbul prasangka?” Sang istri menghela napas panjang, “Jangan sekali-kali menempatkan diri kita pada posisi yang menimbulkan prasangka buruk orang lain, Mas. Terbukalah tanpa ada rahasia, jika memang tidak ada apa-apa,” tandasnya.
Menjaga sikap yang dapat menyebabkan prasangka buruk, demi menjaga hati orang lain agar tidak su’udzon kepada kita, termasuk sebagian dari hak dalam hubungan sosial. Baik dalam hubungan pertemanan, hubungan persaudaraan, hingga hubungan rumah tangga pasangan suami istri. Etika harus tetap dijaga dengan baik.
Agama senantiasa mengajarkan kita untuk menjaga diri dari perbuatan yang bisa merendahkan martabat kita, atau sering disebut dengan istilah iffah dan muruah, sehingga orang tidak berprasangka buruk kepada kita. Salah satu caranya adalah menjauhi perbuatan atau suatu tindakan yang dapat memancing orang untuk berburuk sangka.
Dalam satu riwayat diceritakan, suatu ketika Hazrat Umar bin Khattab r.a. berjalan melewati jalan raya. Di tengah jalan beliau menjumpai seorang laki-laki yang sedang berbicara, bermesraan dengan perempuan. Tanpa berpikir panjang kemudian beliau melempari laki-laki tersebut dengan kayu/tongkat. Sontak si laki-laki kaget dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kenapa engkau memukulku? Dia ini istriku, apa salahnya?”
Hazrat Umar r.a. menjawab, “Oh, kalau dia memang istrimu, seharusnya jangan bermesraan di tempat umum, sehingga tidak ada seseorang pun yang melihat kalian yang menyebabkan berprasangka buruk kepada kalian.”
Kemudian beliau r.a. menyampaikan, “Barangsiapa menempatkan dirinya di tempat yang dapat menimbulkan persangkaan, maka janganlah menyesal kalau orang berprasangka buruk kepadanya.”
Untuk sebuah hubungan yang halal saja, Hazrat Umar r.a. memberi nasehat agar tak mengumbarnya di depan umum, karena khawatir memancing pikiran buruk orang yang tak mengetahui keadaan sebenarnya. Terlebih lagi untuk hubungan yang memang sudah diatur batasannya sedemikian rupa oleh syariat Islam, yang sebagai akibatnya dapat menimbulkan kemudharatan bagi banyak pihak, seperti pada kasus pasangan suami istri tadi.
Dalam QS. Al Hujurat: 12, Allah Ta’ala memang telah memerintahkan secara jelas kepada kita untuk menjauhi prasangka. Namun, agar orang tidak berprasangka buruk, alangkah baiknya kita tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan prasangka buruk pada orang lain, dengan jalan menjaga etika dan tidak menempatkan diri kita di posisi yang bisa membuat orang salah menduga.
Jika sudah terjebak dalam prasangka, apa solusinya? Salah satu solusinya adalah dengan cara memperluas peta pikiran kita, yaitu dengan bertanya, melakukan klarifikasi. Dalam Islam dikenal konsep bertanya yang elegan, yaitu tabayyun. Semoga Allah memelihara kita dari segala prasangka buruk terhadap orang lain, demikian pula sebaliknya. Kita pun senantiasa mampu menjaga diri kita dari sikap yang dapat menimbulkan prasangka buruk orang lain.
Visits: 705