Ketika Kebaikan Melerai Kebencian

Keragaman merupakan bagian dari ciptaanNya yang tidak dapat manusia hindari. Di Bumi ini, terdapat banyak sekali agama, meski cara beribadahnya berbeda namun semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu mengajarkan kebaikan. 

Berbicara tentang kebaikan, membuat saya mengingat kenangan yang begitu membekas dalam ingatan. Kala saya menjadi seorang murid baru di sekolah yang berbasis Islam. Karena sebelumnya saya pindahan dari sekolah milik Ahmadiyah, beberapa guru dan teman-teman saya yang mengetahuinya seringkali menampilkan aksi arogan, sebuah penolakan yang didasari oleh kebencian karena Ahmadiyah selalu disalahpahami. 

Setiap kali guru tersebut mengajar, selama KBM berlangsung, beliau tidak pernah mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi sibuk menerangkan Ahmadiyah dengan menggulirkan fitnah akibat sepenggal informasi yang didapat menumbuhkan kebencian subjektif dalam dirinya. 

Saat itu, usia saya belum genap 16 tahun. Belum cukup ilmu serta keberanian saya untuk menangkis segala tuduhannya itu, akhirnya saya memilih izin untuk shalat Dhuha ketika ia sedang sibuk menjejali nurani murid-muridnya dengan kebencian. 

Karena lingkungan sekolah agamis, sehingga semua murid akan dibebaskan untuk shalat Dhuha meskipun KBM sedang berlangsung. Dan saya, menjadi satu-satunya murid yang selalu izin untuk shalat Dhuha, alhasil saya bisa dengan leluasa mengadu sembari sesenggukan padaNya. 

Menjadi Ahmadiyah keturunan (yang terlahir dari keluarga Ahmadiyah), membuat saya kenyang akan cemoohan di berbagai jenjang pendidikan. Tapi, masa-masa SMA menjadi fase terberat yang harus saya lalui, karena interpretasi dan sikap ekstrem itu datang terlebih dahulu dari seorang pengajar, bukan murid. Sampai saya pernah diabaikan dan dijauhi oleh semua teman-teman, tidak terkecuali teman sebangku. 

“Kata si Ibu A, kita gak boleh deket sama Ahmadiyah. Nanti ketularan sesat, nanti kita bakal diajak masuk dan ngikutin kesesatannya”, ucap salah seorang teman yang kebetulan merupakan keponakan guru tersebut. 

Deg! Rasanya ingin menjelaskan betapa indah dan agungnya ajaran Al-Masihil Mau’ud ini, tapi lagi-lagi merasa bahwa saya tidak punya kapabilitas untuk menjelaskan lebih. Saat itu saya hanya bisa mematung, kaki serasa dipahat erat pada lantai, berat rasanya melangkahkan kaki menjauhinya. 

Ini menjadi tamparan bagi saya sekaligus menjadi pelajaran bagi Ahmadi keturunan lainnya, agar jangan sampai kita lengah dan terus berada pada topeng keturunan tanpa memperdalam dan mencari tahu sendiri kebenaran melalui buku-buku karya para Khalifah tercinta kita. 

Kelak, ketika dihadapkan pada posisi seperti saya, mampu menguraikan tanpa ragu segala ajaran suci ini. Jangan sampai “karena orangtua saya Ahmadiyah” menjadi jawaban atas pertanyaan “kenapa kamu menjadi Ahmadiyah?” 

Dua tahun lamanya saya berada di lingkungan sekolah yang menurunkan kesehatan mental saya, ekses perundungan membuat saya hampir memutuskan untuk berhenti sekolah. Lalu, saya teringat untuk mengadu pada Khalifatul Al-khamis melalui surat (dulu mengirim surat pada beliau tidak semudah sekarang). 

Tiga surat saya kirimkan, namun tak satupun balasan saya terima. Tapi beliau hadir di mimpi saya, wajahnya dipenuhi cahaya tapi senyumannya nampak jelas terlihat, tangannya seakan mengisyaratkan saya untuk bangkit. 

Jarak beberapa minggu setelah Huzur mendatangi saya di mimpi, masih melekat dalam ingatan, hari itu hari Jum’at. Biasanya saya akan izin pulang lebih awal agar bisa mengikuti shalat Jum’at di masjid Ahmadiyah terdekat. Tapi hari itu, saya sedang berhalangan sehingga saya memutuskan untuk menunggu pelajaran selanjutnya (ba’da Jum’at) dengan menghabiskan waktu di Perpustakaan Sekolah. 

Tiba-tiba, beberapa teman sekelas yang lama sekali tak pernah menyapa membuka obrolan dengan bertanya, “Lul, bio di Twitter kamu ada Love for All Hatred for None, kok bagus sih maknanya?” 

Dengan penuh kehati-hatian namun penuh semangat saya menjelaskan bahwa itu merupakan motto/tagline Ahmadiyah. “Kami dididik dan dibentuk untuk penuh cinta dan membakar tunas-tunas kebencian dalam diri kita” lanjut saya. 

Ketika kami asyik bercengkrama dan berkelakar, terlihat guru Bahasa Indonesia itu berjalan memasuki ruang Perpustakaan. Hati saya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi seperti sebelumnya, tapi kali itu rasanya hati dan telinga saya sudah siap untuk menjawab segudang insinuasi serta fitnahannya. 

“Nurul, gak shalat Jum’at? Ibu lihat anak-anak lain jadi suka shalat Dhuha, waktu ibu perhatiin ternyata kamu yang pertama kali. Ibu jadi malu, jelek-jelekin anak Ahmadi tapi ternyata jadi pembawa kebaikan buat murid-murid yang satu kepercayaan sama Ibu.” 

“Ibu kemarin baca dari situs resmi Ahmadi, walaupun Ibu masih belum bisa yakin 100% kalau Ahmadi itu benar, setidaknya melihat kebaikan-kebaikan yang sering kamu lakuin bikin Ibu malu buat bicara yang bukan-bukan tentang Ahmadi,” tuturnya panjang lebar sambil sesekali mengedipkan mata menahan tangis. 

Tak terasa mata saya basah, kebiasaan yang saya anggap biasa saja ternyata merupakan kebaikan dari sudut pandang orang lain. Selaras dengan firman Allah pada surat Al-Imran: 135, “Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” 

Meskipun kita tidak menyadari kebaikan yang telah kita lakukan, tapi Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui. Allah akan melipatgandakan kebaikan yang telah kita toreh, walaupun memang dibarengi dengan cobaan yang mampu mematahkan keteguhan, namun kasih sayangNya tak pernah meninggalkan umatnya yang berbuat Ihsan. 

Satu tahun terakhir sebelum saya meninggalkan sekolah, menjadi momen mengharukan. Saya dipercaya untuk membacakan Al-Qur’an sebagai pembuka pada acara besar di sekolah. Ini merupakan anugerah bagi saya, karena ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, saya sempat diseret untuk tidak membacakan Al-Qur’an pada acara Maulid Nabi karena saya Ahmadiyah. 

Ada satu bingkai cerita lain yang tidak kalah mengharukan dari ribuan pengalaman saya. Karena sekolah saya berada tepat di tengah-tengah kota, banyak dijumpai siswa dari berbagai tingkatan lalu lalang. Jalan pulang menuju kost-an saya melewati jalanan gang panjang yang dipenuhi anak lelaki SMK yang tidak mengikuti pelajaran. Beberapa hari sebelumnya, tersiar kabar bahwa ada murid sekolah saya dilecehkan secara verbal dan non-verbal oleh mereka. 

Karena merebaknya kabar tersebut, membuat saya ketakutan untuk melewati gang tersebut. Saya duduk lama sekali di depan sebuah kios ponsel samping gang, menunggu mereka pulang, namun tak kunjung juga meninggalkan gang. 

Karena kondisi perut kosong dan saya punya riwayat GERD, saya memberanikan diri untuk nekad melewati mereka. Dengan getir saya melangkah cepat, tak terhitung berapa banyak mereka, yang pasti meskipun kita berlari, asap dari rokok yang mereka pegang akan menempel pada baju. 

“Neng..,” seru salah seorang lelaki. 

“Eeeh, jangan! Jangan! Dia mah baik, dia mah Ahmadi. Anak Ahmadi mah baik. Udah biarin, jangan diganggu, malu!” tegas seorang lainnya. 

Dengan kaki yang masih terasa lemas, saya berlari sekuat yang saya bisa. Sepanjang menyusuri jalanan gang selalu terngiang kalimat “anak Ahmadi mah baik”. MashaAllah.. betapa malunya diri ini, Allah begitu menjaga seorang anak yang bahkan janji bai’atnya saja sering ia lupakan. 

Entah kebaikan apa yang dilakukan dan Allah sematkan pada hatinya sehingga memberikan impresi positif. Yang jelas, pastilah kebaikan remeh temeh yang tidak sengaja dilakukan, karena untuk melakukan kebaikan besar, jelas saat itu anak seusia itu tidak akan mampu.

Bukan sifat pongah maupun congkak yang ditunjukan, namun berbagi seutas cerita kecil, bahwa ternyata menyampaikan kebenaranpun tidak hanya bisa dilakukan dengan cara dakwah saja, kebiasaan yang—orang anggap baik—kita anggap remeh pun nyatanya mampu menembus nurani, meretas benci. 

Sejak saat itu, beberapa teman sering meminjam buku Bahtera Nuh dan Ajaranku. Walaupun mereka mengaku tidak memahami sepenuhnya kandungan dari buku Bahtera Nuh, isi dan bahasa pada buku Ajaranku membuat mereka terpukau. 

Mereka tergamam tatkala membaca sebegitu detil dan tegasnya fatwa Masih Mau’ud as pada subjudul “Siapa yang Bukan Bagian dari Jemaatku”. Mereka heran, mengapa ajaran sebagus ini bisa mendapat fitnah yang sangat keji. 

Merasa diri paling baik tidak dianjurkan, namun berupaya untuk selalu menebar kebaikan begitu diwajibkan. Karena sifat tawadhu’ bukan berarti merasa diri penuh salah dan jeda melakukan kebaikan. Jika berbuat baik hanya bisa dijabarkan dengan kedermawanan saja, tentunya banyak orang tidak akan mampu melakukannya. 

Searah dengan ini pasti sudah sampai di telinga kita sebuah Hadist mengenai kebaikan kecil, “…walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum, amalan tersebut adalah bagian dari kebaikan.”  (HR. Abu Daud & Tirmidzi)

Visits: 490

Nurul Hasanah

2 thoughts on “Ketika Kebaikan Melerai Kebencian

  1. Subhanallah, ini bisa jadi contoh bagi anak- anak Ahmadi terutama yang keturunan, jangan takut menyatakan keimanan, teruslah memperlihatkan akhlak yang baik sebagai murid Imam Mahdi as. Ahmadiyah Zindahbad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *