
Pakaian Terindah Adalah Takwa
Pada saat Hazrat Rasulullah SAW masih hidup, Hazrat Umar bin Khattab r.a. termasuk salah seorang sahabat Nabi SAW yang kaya. Namun, kekayaan yang dimilikinya sama sekali tidak membuatnya menginginkan kemewahan dalam mengarungi hidup. Hazrat Umar r.a. benar-benar tahu hakikat harta, terlebih lagi sejak masuk Islam.
Kesederhanaan Hazrat Umar r.a. dalam menjalani kehidupan di masa Hazrat Rasulullah SAW terekam dalam beberapa kisah yang patut kita contoh dan teladani. Salah satunya adalah saat Hazrat Umar bin Khattab r.a. terlambat hadir untuk menyampaikan khutbah shalat Jum’at. Ketika hendak naik mimbar, Hazrat Umar r.a. menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatannya kepada para jamaah. Ketika itu Hazrat Umar r.a. tengah disibukkan dengan menjahit pakaiannya karena ia hanya memiliki satu pakaian tersebut.
Meninggalkan pakaian mewah bukan berarti memakai pakaian compang-camping, namun maksudnya adalah “sederhana” (sedang-sedang saja) dalam berpakaian. Jika seseorang berada di tengah-tengah orang yang hidupnya sederhana, maka janganlah ia berpenampilan terlalu mewah. Kalau ia mau mengambil sikap tawadhu’ (rendah hati ), maka berpakaianlah seperti pakaian mereka. Biar hati mereka tidak merasa kerdil dan juga bukan tanda sombong.
Inilah membuat seseorang mendapatkan pahala yang besar. Seperti itulah yang diperlihatkan oleh Hazrat Umar r.a. di tengah-tengah para sahabatnya. Jika seseorang melihat di sekelilingnya berpakaian sederhana, padahal ia mampu mengenakan pakaian yang bagus, maka berpakaian seperti itu adalah pahala yang besar.
Sebagaimana Hazrat Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan pakaian mewah karena dorongan merendahkan diri kepada Allah Ta’ala, padahal dia mampu, maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, lalu dia dipersilakan untuk memilih perhiasan/pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini tidak menunjukkan tercelanya memakai pakaian mewah, namun hadits ini memberi motivasi untuk zuhud dan tawadhu‘ (rendah hati). Secara bahasa, arti dari tawadhu adalah ketundukan dan rendah hati. Asal katanya berasal dari Tawadha’a Til ardhu yang berarti tanah itu lebih rendah daripada tanah di sekelilingnya.
Memiliki sifat tawadhu berarti merasa diri kita orang biasa, sekalipun memiliki banyak kelebihan. Dengan sifat tawadhu pun kita senantiasa akan merendahkan diri kepada Allah Ta’ala dan tidak berbuat semena-mena atau memandang remeh terhadap sesama.
Namun jika seseorang berada di sekitar orang yang berpakaian bagus, maka lebih pantas ia memakai pakaian semisal mereka, karena Allah itu jamil (indah) dan menyukai sesuatu yang indah. Karena kalau seseorang berpakaian sederhana di tengah-tengah orang-orang yang berpakaian bagus, maka ia akan tampil beda. Jadi seseorang dalam berpakaian bisa menyesuaikan kondisi.
Sebenarnya tidak ada aturan khusus dalam hal berpakaian untuk umat Islam. Dikarenakan ada lebih dari satu miliar umat Muslim di seluruh dunia yang hidup di bawah iklim yang berbeda. Islam menekankan hubungan antara tubuh fisik dan rohani.
Pada dasarnya Islam menekankan kesopanan baik pria maupun wanita dalam berpakaian, dengan lengan dan kaki tertutup. Pakaian harus longgar dan lekuk tubuh tidak boleh terlihat, terutama di depan umum. Laki-laki muslim juga diwajibkan menggunakan pakaian yang sopan dan menutupi tubuh mereka, namun mereka dianjurkan menutup rambut selama shalat.
Sesungguhnya pakaian yang terbaik dalam pandangan Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al A’raf ayat 27 yang artinya: “Wahai Bani Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan sebagai perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang terbaik”.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Dengarlah! Tingkatan pertama keimanan adalah hendaknya manusia bertakwa.” Kemudian beliau a.s. bersabda, “Apakah takwa itu? Jawabannya adalah, menghindarkan diri kita dari segala jenis keburukan.”
Pakaian itu ada dua macam, yaitu pakaian lahiriyah dan pakaian batiniyah. Pakaian lahiriyah adalah yang menutupi aurat dan ini sifatnya primer. Termasuk pakaian lahiriyah juga adalah pakaian perhiasan yang disebut dalam ayat di atas dengan risya’ yang berarti perhiasan atau penyempurna.
Dengan demikian kita hendaknya jangan hanya semangat memperhatikan bersihnya pakaian jasmani yang nampak saja. Jika ada kotoran yang menempel di pakaian, maka kita akan mencucinya dengan air dan sabun sesuai kemampuan kita. Namun untuk pakaian takwa, hendaknya kita harus lebih semangat lagi untuk memperhatikannya.
Kalau pakaian batin tersebut kotor, jangan tinggal diam tidak peduli. Ingatlah, pakaian takwa itulah yang lebih baik. Itu menunjukkan seharusnya perhatian kita lebih tinggi pada pakaian takwa dibanding badan dan pakaian lahir yang nampak. Pakaian takwa itulah yang lebih penting.
Jadi, pakaian takwa adalah ketakwaan itu sendiri, yaitu sikap tunduk dan patuh kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dalam pengertian lain, inti takwa adalah sikap mental atau kesadaran ketuhanan yang sangat tinggi pada sesseorang yang memandang Allah SWT selalu hadir menyertai semua aktivitasnya .
Kesadaran inilah yang membuatnya takut atau malu berbuat dosa. Tidak seperti baju dalam arti fisik dan aksesori yang kita pakai sehari-hari, takwa adalah baju (pakaian) kemuliaan yang akan melindungi kita dari murka Allah dan azab-Nya.
Visits: 651