
Hadhrat Nabi Isa as. Tidak Wafat di Tiang Salib, Berikut Bukti-buktinya!
Hadhrat Nabi Isa as. tidak wafat di tiang salib. Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan itu kepada beliau as. sebagaimana Dia berfirman,
“Ingatlah ketika Allah berfirman, “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mewafatkan engkau secara wajar dan akan meninggikan kemuliaan engkau di sisiKu, akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang yang ingkar kepada engkau, dan akan menjadikan orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang yang kafir hingga Hari Kiamat, kemudian kepadaKu kamu akan dikembalikan, lalu Aku akan menghakimi di antaramu tentang apa yang kamu perselisihkan.” [1]
Berikut bukti-bukti bahwa Hadhrat Isa as. tidak mati di tiang salib, sebagaimana yang ditulis Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Masih Al-Mau’ud as. dalam bukunya Al-Masih di Hindustan. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Masih Al-Mau’ud as. menjelaskan, “Di dalam Matius 12:40 tertulis bahwa “seperti halnya Yunus berada 3 hari 3 malam di dalam perut ikan, demikian pula Anak Manusia (Isa a.s.) akan berada 3 hari 3 malam di dalam [perut] bumi.” Sekarang jelas bahwa Yunus tidak mati di dalam perut ikan, dan kalaupun terjadi suatu keadaan, paling tidak, itu hanyalah pingsan dan tidak sadarkan diri.”
Bahkan, Injil sendiri menentang keyakinan bahwa Hadhrat Isa as. meninggal di atas salib. Bahwa beliau as. sempat dipaku ke tiang salib, itu benar. Tetapi ketika diturunkan dari tiang salib, beliau as. hanya pingsan, bukan mati. Mengapa bisa demikian?
Dalam Taurat dijelaskan bahwa dalam proses penyaliban, manusia “…diletakkan di kayu salib lalu paku ditancapkan pada kedua tangan dan kaki. Dan hal itu memungkinkan, setelah penyaliban dan pemakuan sampai satu atau dua hari, jika nyawa orang itu ingin diampuni maka penderitaan yang demikian dianggap cukup, lalu tanpa mematahkan tulang-tulangnya ia diturunkan hidup-hidup. Dan jika targetnya ingin dimatikan, maka sekurang-kurangnya sampai tiga hari dibiarkan tergantung di tiang salib; tidak diberi minum dan makan; dibiarkan seperti itu di bawah terik matahari selama tiga hari atau lebih, kemudian setelah itu tulang-tulangnya dipatahkan. Lalu akhirnya setelah segenap penderitaan tersebut barulah ia mati.”
Hadhrat Isa as. tidak disalib sampai 3 hari. Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan, “Nabi Isa a.s. tidaklah disalib sampai tiga hari; tidak pula beliau tiga hari menanggung lapar dan haus; dan tidak pula tulang-tulang beliau dipatahkan.” Beliau as. disalib pada hari Jum’at sore, dan ini pun karena pertolongan Allah Ta’ala yang menghadirkan mimpi kepada istri Pilatus. Sehingga, “…ketika Pilatus duduk di kursi pengadilan, isterinya mengirimkan pesan, “Jangan engkau apa-apakan orang baik ini [yakni, jangan berusaha untuk membunuhnya] sebab, karena dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam.” Lihat Matius 27:19.”
Pilatus akhirnya memutuskan bahwa penyaliban untuk Hadhrat Isa as. dilaksanakan di Jum’at sore. Dengan begitu, Hadhrat Isa as. akan segera dilepaskan sebelum hari Sabat. “Bagi orang-orang Yahudi adalah suatu hal yang haram serta dosa yang patut dihukum apabila membiarkan seseorang tetap berada di tiang salib pada hari Sabat atau pada malam Sabat. Dan seperti orang-orang Islam, orang Yahudi pun menganut hitungan Qamariah (bulan) dan menghitung malam lebih dahulu dari siang.”
Dan betul saja, Hadhrat Isa as. kemudian lekas dilepaskan sebelum malam pengganti hari tiba. Beliau as. pingsan, kemudian dibawa ke pemakaman orang Yahudi saat itu yang berbentuk katakomba-katakomba (ruang bawah tanah yang digunakan sebagai tempat pemakaman atau persembunyian, terutama pada masa Romawi Kuno) di dalam gua. Hal ini untuk menyamarkan seolah-olah di mata orang Yahudi, beliau as. telah mati. Padahal, beliau hanya pingsan. Dan, di dalam katakomba tersebut, beliau diurapi agar luka-luka di tubuhnya lekas sembuh.
Dan sebagaimana Hadhrat Nabi Yunus as. tetap hidup selepas tiga hari berada di dalam perut ikan paus, begitu pula Hadhrat Isa as. Beliau as. tetap hidup selepas tiga hari dirawat di dalam ‘perut bumi’, permisalan untuk kuburan yang berbentuk katakomba-katakomba di dalam gua.
Selanjutnya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Masih Al-Mau’ud as. menyatakan, “Selain itu bagi beliau pun adalah penting untuk terhindar dari kematian di kayu salib, sebab di dalam Kitab Suci [Taurat] tertulis bahwa seseorang yang digantung di tiang salib adalah La‘nati (terkutuk). Dan laknat itu mengandung satu makna sedemikian rupa sehingga apabila ditujukan satu detik saja kepada seorang suci seperti Isa Al-Masih, merupakan keaniayaan dan sangat tidak adil.”
Menurut Taurat, kematian di atas salib adalah kematian terkutuk. Hadhrat Masih Mau’ud as. menjelaskan, “Seseorang akan disebut mal‘ũn (terlaknat/terkutuk) dalam kondisi ketika hatinya benar-benar telah jauh dari Tuhan lalu menjadi hitam; dan tidak memperoleh rahmat Ilahi; serta buta dari kecintaan Tuhan; sama sekali kosong dan hampa dari makrifat Ilahi; buta dan tak tentu arah bagaikan syaitan, lalu dipenuhi oleh racun kesesatan. Dan di dalam dirinya sedikit pun tidak tersisa lagi nur serta kecintaan Makrifat Ilahi; dan seluruh hubungan persahabatan serta kesetiaan menjadi terputus. Dan antara ia dengan Tuhan timbul kedengkian, kebencian, ketidaksukaan, dan permusuhan satu sama lain sampai-sampai Tuhan menjadi musuhnya dan ia menjadi musuh Tuhan; Tuhan tidak peduli terhadapnya dan ia tidak peduli terhadap Tuhan. Ringkasnya, dalam setiap sifat, ia menjadi pewaris syaitan. Dan itulah sebabnya syaitan disebut la’ĩn (terkutuk).”
Sebagai seorang nabi utusan Allah Ta’ala, tentu Hadhrat Isa as. jauh dari kata “terlaknat/terkutuk.” Bila Hadhrat Isa as. wafat di atas salib, apapun alasan yang mendasarinya, hanya akan membenarkan klaim kaum Yahudi bahwa Hadhrat Isa as. adalah pendusta, Naudzubillah! Karena hukum Taurat menyatakan demikianlah hukuman bagi para pendusta yang terlaknat/terkutuk yang hatinya hitam jauh dari Tuhan.
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud as. menyatakan, “…sebuah sabda yang tegas dari mulut Nabi Isa as.: “Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea.” Lihat Matius 26:32. Dari ayat ini tampak jelas bahwa sesudah keluar dari kubur, Nabi Isa telah pergi ke Galilea—bukannya ke langit. Dan kalimat Nabi Isa, “Sesudah Aku bangkit”, dari itu tidak dapat diartikan kehidupan sesudah mati. Melainkan, disebabkan dalam pandangan orang-orang Yahudi dan orang-orang awam bahwa beliau telah mati di atas salib, untuk itulah sejak sebelumnya Nabi Isa telah menggunakan kalimat tersebut sesuai dengan pemikiran-pemikiran mereka [yang bakal timbul] di masa mendatang.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Hadhrat Isa as. telah mendapat wahyu dari Allah Ta’ala bahwa sesudah peristiwa ‘penyaliban’, beliau as. akan sembuh dan bisa kembali melanjutkan misinya. Hadhrat Isa as. telah diutus untuk mengembalikan kedua belas Suku Bani Israil kepada ajaran Tauhid. Sebelum peristiwa ‘penyaliban’, baru 3 suku yang menerima dakwah Hadhrat Isa as. sedangkan sisa suku lainnya tersebar hingga ke Afghanistan dan India. Bila Hadhrat Isa as. wafat dalam ‘penyaliban’, maka sebagai nabi ia gagal menyelesaikan misinya. Padahal, tak ada satu pun nabi utusan Allah Ta’ala yang gagal dalam setiap misinya, termasuk Hadhrat Isa as.
Apa yang tulisan ini sampaikan tentu masih jauh dari kata lengkap dan sempurna untuk membuktikan kebenaran bahwa Hadhrat Nabi Isa as. tidak wafat di atas tiang salib. Harapannya, tulisan ini seyogyanya hanyalah hidangan pembuka agar pembaca melanjutkan hidangan utama yaitu buku-buku yang ditulis Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Masih Al-Mau’ud as. dan menguji kebenaran pendakwaannya. Salah satunya buku Al-Masih di Hindustan ini.
Penting bagi seorang Muslim untuk mempelajari dan meyakini bahwa Hadhrat Isa as. tidak wafat di atas salib. Keyakinan ini akan menuntunnya kepada keyakinan yang lebih jauh, luas, dan dalam kepada ketauhidan dan kekuasaan Allah Ta’ala yang tak terbantahkan. Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa diberikan karunia oleh Allah Ta’ala dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang sejati, Islam yang murni. Aamiin Allahumma Aamiin.
Referensi :
[1] Al-Qur’an. Surah Ali ‘Imran, 3:56
[2] Al-Masih di Hindustan. Diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ilyas, disunting oleh Mln. Zafrullah Nasir Mbsy., edisi cetakan ke-4, Neratja Press, 2017.
Views: 133