
MENANAM KEJUJURAN, MENUAI KEPERCAYAAN
Ketika seorang guru memberikan tugas kepada siswa siswinya untuk menulis cerita bertema “Kejujuran”, seorang siswi mendekati sang guru dan berkata, “Bu Guru, bolehkah saya menulis kisah kejujuran yang pernah saya alami sendiri?”
“Boleh sekali. Apa yang pernah kamu lakukan?” tanya guru itu.
“Saya pernah mengambil barang milik Mama tanpa izin,” akunya. “Mama melihatnya lalu berkata, ‘Jika ingin sesuatu harus bilang lebih dulu, tidak boleh mengambil tanpa izin.’ Saat itu juga saya meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi karena tidak ingin berdosa. Itu kesalahan besar.”
Alhamdulillah, siswi tersebut menyadari kekeliruannya dan berjanji kepada ibunya untuk tidak mengulanginya.
Kisah kejujuran juga dialami Abu Dujanah, sahabat Rasulullah saw. Nama lengkap beliau Simak bin Kharasha dari kabilah Khazraj. Meski hidup serba kekurangan, ketakwaannya luar biasa.
Suatu hari, Rasulullah saw. menegur Abu Dujanah karena setiap selesai shalat Subuh berjamaah ia tergesa gesa pulang, “Apakah engkau tidak berzikir kepada Allah sehingga selalu buru-buru pulang?” tanya Nabi.
“Ya Rasulullah, kami punya alasan,” jawabnya.
“Apa alasanmu? Coba utarakan!” perintah Nabi.
Abu Dujanah pun bercerita. Di samping rumahnya tumbuh pohon kurma milik tetangga. Jika buahnya matang, kurma itu sering jatuh di halaman Abu Dujanah. Ia selalu pulang sebelum anak-anaknya bangun agar dapat mengumpulkan kurma yang berjatuhan untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Suatu hari ia terlambat; anak-anaknya terlanjur memakan kurma jatuh itu. Melihatnya, Abu Dujanah segera mengeluarkan kurma dari mulut mereka sambil berkata, “Nak, jangan makan-makanan haram. Itu akan menyiksa kita di akhirat.”
Mendengar kisah itu, mata Rasulullah saw. berkaca-kaca. Beliau pun mencari pemilik pohon kurma dan berniat membelinya untuk diberikan kepada Abu Dujanah. Sebelum transaksi terjadi, Abu Bakar As-Siddiq ra datang dan membeli pohon tersebut dengan harga tinggi hingga sang pemilik setuju menjualnya.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surah An Nisa ayat 70: “Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka termasuk orang‑orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni nabi-nabi, sidiq-sidiq, syahid-syahid, dan orang-orang saleh dan mereka itulah sahabat yang sejati.” [1]
Abu Dujanah begitu menjaga diri dan keluarganya dari sesuatu yang bukan hak, karena beliau meyakini sabda Nabi bahwa “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih pantas baginya.” Keteladanan ini sejalan dengan hadits lain yang diriwayatkan Imam Muslim tentang tiga golongan yang akan dinaungi Allah pada hari kiamat, salah satunya adalah seseorang yang jujur dalam setiap urusan. Kejujuran bukan hanya perkara lisan, melainkan kejujuran hati, pikiran, serta tindakan—seperti menolak memakan kurma yang jatuh sebelum jelas hukumnya.
Nilai serupa dapat kita tanamkan dalam kehidupan modern. Misalnya, siswa yang meminjam buku wajib mengembalikannya tepat waktu; pegawai hendaknya bekerja sesuai jam yang ditetapkan tanpa “mencuri” waktu; pedagang harus menakar timbangan dengan benar; dan pengguna media sosial mesti menghindari menyebar berita yang belum pasti. Langkah‑langkah kecil ini menciptakan budaya amanah yang berdampak besar.
Kejujuran pun melahirkan ketenangan batin. Orang yang berkata dan bertindak benar tidak dihantui rasa takut terbongkar, sehingga hatinya lapang untuk berbuat baik lainnya. Masyarakat pun akan mempercayai dan menghormatinya. Al‑Quran menegaskan, “Sesungguhnya Allah bersama orang‑orang yang bertakwa dan orang‑orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. An‑Nahl: 129). [2]
Maka, marilah kita menanamkan kejujuran mulai dari hal terkecil di rumah, sekolah, tempat kerja, hingga ranah publik. Jadikan kisah siswi yang berani mengakui kesalahan serta kisah Abu Dujanah yang menolak rezeki syubhat sebagai cermin untuk memperbaiki diri.
Kisah‑kisah tersebut menjadi motivasi dan pengingat bagi kita semua betapa penting menanamkan kejujuran pada diri sendiri. Walaupun awalnya terasa tidak menyenangkan, dampaknya dalam kehidupan sangatlah indah dan membawa keberkahan bagi individu, keluarga, serta masyarakat.
“Dan ingatlah hari itu, ketika Kami akan membangkitkan dalam setiap umat seorang saksi terhadap mereka dari antara mereka sendiri, dan Kami akan mendatangkan engkau sebagai saksi terhadap mereka menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk, rahmat serta kabar sila bagi orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.” [3]
Referensi
[1] Al-Qur’an Surah An-Nisa, 4:70.
[2] Al-Qur’an Surah An-Nahl, 16:129.
[3] Al-Qur’an Surah An-Nahl, 16:90.
Visits: 38