CAHAYA DI AMBANG PERANG : SERUAN DARI AL-QUR’AN

Ketika dunia dipenuhi ketegangan antar negara, isu senjata nuklir, dan keserakahan dalam perebutan kekuasaan, maka tak berlebihan jika banyak orang mulai bertanya-tanya: mungkinkah Perang Dunia Ketiga akan benar-benar terjadi? Dalam suasana mencekam seperti ini, Al-Qur’an datang bukan sekadar sebagai kitab suci spiritual, melainkan sebagai cahaya yang menerangi arah kemanusiaan di tengah kegelapan zaman.

 

Allah Ta’ala menyatakan dalam Al-Qur’an:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia, supaya Dia membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) yang telah mereka kerjakan agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [1]

 

Kerusakan yang dimaksud bukan hanya kehancuran fisik, tapi juga moralitas, nilai kemanusiaan, dan keseimbangan alam yang telah dicederai oleh tangan-tangan yang tamak. Perang demi perang di masa lalu meninggalkan luka besar bagi sejarah, dan kini, dunia kembali merangkak ke jurang kehancuran yang serupa, bahkan lebih dahsyat.

 

Islam, sebagai agama yang membawa rahmat untuk seluruh alam, sama sekali tidak menormalisasi perang sebagai solusi. Perang dalam Islam bukan tujuan, melainkan jalan terakhir yang hanya ditempuh jika tidak ada pilihan selain membela diri dari kezaliman. Allah Ta’ala menegaskan:

 

“Diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena mereka telah dianiaya…” [2]

 

Namun bahkan dalam perang, Islam meletakkan nilai-nilai yang sangat luhur, tidak boleh menyakiti anak-anak, wanita, orang tua, dan tidak boleh merusak lingkungan atau tempat ibadah. Hadhrat Rasulullah Saw mengajarkan etika dalam berperang, sebuah hal yang bahkan dalam dunia modern pun jarang dihargai. Islam bukan agama kekerasan, melainkan agama yang memperjuangkan keadilan dengan batasan-batasan ilahi.

 

Di saat sebagian manusia menjadikan kekuatan militer dan dominasi politik sebagai penentu eksistensi, Islam mengangkat perdamaian sebagai nilai tertinggi. Allah berfirman:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kamu kepadanya…” [3]

 

Dalam dunia yang sedang berjalan menuju ambang Perang Dunia Ketiga, ayat ini adalah seruan keras yang seharusnya menggugah nurani para pemimpin dunia. Jalan dialog dan keadilan harus didahulukan dibandingkan jalan senjata.

 

Hadhrat Masih Mau’ud as, Imam Mahdi yang dijanjikan, telah memperingatkan lebih dari seratus tahun yang lalu:

“Sesungguhnya akan datang suatu masa ketika dunia akan tertimpa bencana demi bencana… Bangsa-bangsa akan saling bertikai… Namun akhirnya akan datang satu masa di mana pedang akan diletakkan dan damai akan ditegakkan di bawah satu tangan: Islam yang sejati.” [4]

 

Nubuwwatan ini kini kian terasa nyata. Ketika dunia sedang terguncang oleh gejolak ketidakpastian, Islam telah sejak awal menyerukan seruan damai dan mengajak manusia kembali kepada Tuhan.

 

Hadhrat Khalifatul Masih V ABA pun dengan penuh kasih telah mengingatkan dunia dalam berbagai forum internasional, termasuk Parlemen Inggris dan Kongres Amerika, bahwa dunia sedang menuju kehancuran kecuali jika manusia kembali kepada Tuhan dan keadilan ditegakkan.

 

Beliau bersabda:

“Jika dunia tidak sadar sekarang, maka ingatlah, perang dunia berikutnya tidak akan terbatas pada satu benua. Dunia akan menyaksikan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, tugas kita adalah berdoa dan memperingatkan.” [5]

 

Sabda itu adalah suara kenabian di zaman ini, suara yang membawa pesan kasih, bukan kemarahan. Umat Islam bukanlah umat yang mencela, melainkan umat yang berdoa dan terus memperjuangkan perdamaian.

 

Kini tugas kita adalah menjadi penyeru damai di tengah dunia yang berisik oleh kebencian. Kita bukan pengikut arus kebisingan global, tapi mata air yang membawa ketenangan. Kita bukan penyulut bara, melainkan peneduh panas dunia yang penuh konflik.

Hadhrat Rasulullah Saw bersabda:

“Seorang Muslim adalah yang kaum Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” [6]

 

Dalam makna luas, ini bukan hanya soal ucapan dan tindakan harian, tapi juga sikap politik dan sosial. Seorang Muslim sejati tidak menginginkan kehancuran, tapi mendoakan keselamatan bahkan untuk mereka yang memusuhinya.

 

Jika dunia ingin selamat dari perang besar, maka dunia harus kembali kepada nilai-nilai Al-Qur’an. Dunia harus menunduk bukan kepada senjata, tetapi kepada Allah Ta’ala, Tuhan seluruh alam. Dunia harus berhenti memperjuangkan kekuasaan dan mulai menegakkan keadilan.

 

Dan selama dunia belum sadar, kita sebagai bagian dari Khilafah Ilahi ini, harus terus menyuarakan cahaya. Menyuarakan Islam yang lembut, damai, dan agung. Menyuarakan Islam yang hidup dalam diri Hadhrat Rasulullah Saw dan diwariskan kepada Khalifah di zaman ini.

 

Sebab bisa jadi, dari suara kecil kita yang penuh doa, dunia terhindar dari kehancuran yang lebih besar. Dan jika tidak, semoga kita tetap menjadi bagian dari mereka yang berdiri di sisi damai, bukan di sisi api.

 

Referensi :

[1] (Q.S. Ar-Rum : 42)

[2] (Q.S. Al-Hajj : 40)

[3] (Q.S. Al-Anfal : 62)

[4] (Malfuzat, jilid 3)

[5] (Pidato di Masjid Baitul Futuh, 2012)

[6] (HR. Bukhari dan Muslim)

 

 

 

 

Views: 56

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *