KETELADANAN THALUT DALAM KEPEMIMPINAN

Ketika kaum Bani Israil mengalami kekalahan dalam peperangan melawan bangsa Palestina dan diusir dari tanah kelahiran mereka, mereka tercerai-berai dan menderita selama bertahun-tahun. Hal ini terjadi karena mereka tidak taat kepada pemimpin yang telah ditunjuk Allah [1].

Thalut adalah seorang pemuda desa yang masih termasuk dalam kelompok Bani Israil yang hidup dalam kemelaratan. Sehari-harinya ia bekerja sebagai penggembala kambing. Karena kehidupannya yang sederhana dan terpencil, hampir tidak ada orang yang mengenalnya. Maka, saat Nabi Samuel menyampaikan bahwa Allah SWT telah memilih Thalut sebagai pemimpin mereka, kaum Bani Israil merasa terkejut. Mereka tidak pernah menganggap Thalut sebagai seseorang yang layak diperhitungkan [1][3].

Namun di balik pandangan rendah mereka, Thalut memiliki banyak kelebihan yang tidak mereka ketahui. Ia bertubuh kuat dan sehat, berperawakan tinggi, gagah, sorot matanya tajam, pikirannya jernih, dan pengetahuannya luas. Selain itu, ia berhati suci dan bersih, serta memiliki budi pekerti yang agung. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah desa kecil [3].

Pencarian ternak yang hilang menjadi jalan takdir bagi Thalut untuk menerima amanat kepemimpinan. Ketika mencari keledai ayahnya yang hilang, Thalut bertemu dengan sejumlah orang yang menyarankannya untuk menemui seorang Nabi di puncak bukit. Pertemuan itu mempertemukannya dengan Nabi Samuel [3][4].

Ketika keduanya bertemu, Samuel menatap tajam ke wajah Thalut. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa inilah orang yang disebut dalam wahyu Allah sebagai pemimpin kaum Bani Israil. Thalut membuka pembicaraan, “Saya datang menemui Tuan, wahai Nabi Allah, untuk meminta petunjuk tentang keledai bapakku yang hilang di tengah padang luas ini,” katanya.

Melihat Samuel masih menatapnya, Thalut melanjutkan, “Sudah menjadi perintah Allah bahwa kita sebagai hamba-Nya tidak boleh berputus asa.

Mudah-mudahan Tuan dapat menunjukkan kepada kami di mana keledai itu dengan ilmu yang Tuan miliki.” Samuel menjawab, “Keledai yang hilang itu sekarang sedang berjalan pulang menuju kandangnya.” Ia menyarankan agar Thalut tidak lagi bersusah payah mencarinya [3].

Setelah itu, Samuel menyampaikan kabar besar. Ia berkata bahwa Allah SWT telah memberinya wahyu untuk mengangkat Thalut sebagai pemimpin Bani Israil. Allah menugaskannya untuk menyatukan kaum, mempersiapkan mereka menghadapi musuh yang telah lama menjajah mereka, dan memimpin mereka dalam peperangan. “Allah sudah menjanjikan pertolongan-Nya bagimu. Engkau akan memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu,” ujar Samuel [1][3].

Mendengar pernyataan itu, Thalut merasa tidak percaya. Ia hanya seorang miskin dari kalangan biasa. Bagaimana mungkin ia harus memimpin kaum yang sebelumnya bergelimang harta dan kekuasaan? “Benarkah saya akan menjadi raja, pemimpin, dan panglima mereka?”

Samuel menegaskan bahwa ia tidak perlu merasa rendah diri karena status sosialnya. “Ini adalah kehendak dan wahyu Allah SWT. Engkau harus bersyukur atas nikmat Allah dan membulatkan tekad untuk memimpin perjuangan,” katanya [1].

Pengangkatan Thalut sebagai raja tidak langsung diterima oleh seluruh kaum Bani Israil. Mereka meragukannya karena latar belakangnya sebagai penggembala miskin. Namun Samuel menunjukkan bukti bahwa pengangkatan tersebut adalah kehendak Allah SWT. Akhirnya, mereka pun menerima Thalut sebagai pemimpin mereka [1][2].

Dari kisah Thalut, kita belajar bahwa orang yang memiliki hati bersih, ilmu yang luas, dan akhlak mulia, akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Allah tidak memandang kemuliaan seseorang dari harta atau statusnya, tetapi dari akhlaknya. Dan jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang mustahil [1][5].

Daftar Referensi:
[1] Al-Qur’an. Surah Al-Baqarah, 2:246–251.
[2] Al-Baghawi, Imam. Ma‘alim at-Tanzil. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
[3] Ibn Katsir, Imam. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 246–251. Riyadh: Darussalam.
[4] Al-Tabari, Imam. Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 246–251. Beirut: Dar al-Fikr.
[5] Muslim, Imam. Sahih Muslim, Hadits No. 1851. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.

Views: 24

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *