
TERPINGGIRKANNYA PERAN ANAK DALAM MENGHARGAI ORANG TUA : SEBUAH KRISIS KASIH DI ZAMAN YANG SIBUK
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang penuh target dan kesibukan, ada satu relasi yang diam-diam mulai melemah yaitu, hubungan anak dengan orang tuanya. Kemajuan zaman memang memudahkan banyak hal, tapi pada saat yang sama, ia juga perlahan melunturkan tradisi luhur dalam memuliakan orang tua, sebuah nilai yang dulu begitu dijaga erat.
Kita menyaksikan bagaimana anak-anak generasi kini tumbuh dengan fasilitas terbaik, pendidikan yang tinggi, teknologi yang canggih, bahkan peluang karir yang lebih luas. Namun ironisnya, semua pencapaian itu kerap dibangun di atas kealpaan mereka dalam menyapa, memahami, bahkan sekadar hadir untuk kedua orang tua yang telah berkorban seumur hidup.
Seringkali kita mendengar kasus lansia yang ditinggal di rumah tanpa perhatian, atau bahkan dititipkan di panti jompo oleh anak-anaknya sendiri. Bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka terlalu sibuk dengan urusan dunia, mengejar karir, membangun rumah tangga, atau sekadar membenahi ambisi pribadi, hingga lupa bahwa ada cinta yang tak pernah meminta balas sedang menunggu di rumah, “cinta orang tua”.
Sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya…” [1]
Ayat ini bukan hanya perintah, tapi juga peringatan bahwa kebaikan terhadap orang tua adalah kewajiban yang tak bisa ditunda, bahkan ketika dunia menuntut hal-hal besar dari hidup kita.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s, menekankan bahwa
“Berusahalah sekuat tenaga untuk menyenangkan hati ibu bapak. Dalam urusan dunia selama itu tidak menyalahi perintah Allah, hendaklah mendahulukan kehendak mereka.” [2]
Sabda ini menunjukkan betapa besar keutamaan menyenangkan orang tua, bahkan bukan hanya melalui tindakan, tapi juga dengan sikap menghargai dan tidak mengabaikan mereka di masa tua.
Fenomena ini menyimpan ironi yang getir, seorang ibu bisa membesarkan 10 anak, tapi belum tentu 10 anak itu bisa menghadirkan rasa tenang untuk satu orang ibu di usia senjanya.
Penyebabnya bukan semata soal moral, tapi juga minimnya kesadaran dan pendidikan batiniah tentang makna penghormatan sejati. Banyak anak yang lupa bahwa sekadar hadir, mendengarkan cerita orang tua, atau menemani mereka makan malam adalah bentuk penghargaan yang bernilai besar di mata Allah dan agama.
Hadhrat Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” [3]
Dan siapa yang lebih utama untuk disambung silaturahminya kalau bukan orang tua?
Sudah saatnya kita tidak hanya sibuk dengan keberhasilan diri sendiri, tetapi juga merenung: apakah kita telah hadir sebagai anak yang memuliakan, atau hanya sebagai anak yang sukses tapi asing bagi orang tuanya?
Kasih sayang tak selalu butuh harta, tapi selalu butuh kehadiran. Di zaman yang penuh kecanggihan ini, mungkin yang paling tua kita miliki adalah kenangan orang tua, dan yang paling kita abaikan adalah perasaan mereka.
Jika rumah adalah tempat kembali, maka orang tua adalah jiwanya. Dan jika surga berada di bawah telapak kaki ibu, maka keridhaan Allah menunggu di senyum ridha ayah. Kita tidak tahu sampai kapan mereka masih ada untuk kita. Mungkin, ucapan “terima kasih” dan “aku sayang Ibu, Ayah” yang sering tertahan itulah yang justru paling mereka nanti.
Kita boleh menjadi anak yang hebat di mata dunia, tapi jangan lupa menjadi anak yang patuh di mata Tuhan. Karena yang mereka butuhkan bukan prestasi kita, tapi kepulangan kita. Bukan hadiah besar, tapi perhatian kecil yang hangat dan tulus.
“Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang mukmin pada hari terjadinya hisab.” [4]
Aamiin Allahumma Aamiin.
Referensi :
[1] QS. Luqman 31:15
[2] Malfuzat, Jilid IV, hal. 175
[3] HR. Bukhari dan Muslim
[4] QS. Ibrahim 14:42
Views: 111