Ganjaran Mengutamakan Ketakwaan dalam Pernikahan
Hingga hari ini, manusia harus senantiasa diajarkan bahwa perbedaan bukanlah jurang yang diciptakan Tuhan untuk menjauhkan satu sama lain. Penampilan fisik yang berbeda, pola hidup dan pola pikir yang tumbuh dari lingkungan yang berbeda, tidak menjadikan seseorang punya hak untuk merasa dirinya bersikap sombong karena merasa lebih baik dan lebih hebat daripada orang lain.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 14,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahawaspada.”
Firman Allah Ta’ala di atas begitu jelas dalam menuntun umat manusia untuk tidak bersikap diskriminatif dalam memperlakukan orang lain hanya karena ia berbeda. Manusia diajarkan untuk menilai kemuliaan seseorang semata-mata dari ketakwaannya yang tercermin dalam perilaku dan amalannya dalam kehidupan. Termasuk dalam memilih pasangan bagi dirinya maupun anak keturunannya.
Kisah-kisah terkenal mengenai keluhuran budi sahabat Hadhrat Rasulullah saw. selalu bisa menjadi hikmah yang menuntun kita untuk menjalani kehidupan yang mulia. Salah satunya adalah kisah terkenal dari Hadhrat Umar bin Khattab ra. yang tercantum dalam kitab Tarikh Dimasyq (Sejarah Damaskus) karya Ibnu Asakir (70/252).
Hadhrat Khalifah Umar bin Khattab ra. memiliki kebiasaan mulia untuk berkeliling Kota Madinah di malam hari secara diam-diam (ronda) untuk memantau langsung kondisi dan kehidupan rakyatnya, tanpa diketahui oleh mereka. Pada suatu malam, saat beliau sedang beristirahat di dekat sebuah gubuk kecil, beliau mendengar percakapan antara seorang ibu dan anak perempuannya yang berprofesi sebagai penjual susu:
Sang Ibu berkata, “Nak, campurkan susu itu dengan air agar jumlahnya bertambah dan kita bisa mendapat untung yang lebih banyak.”
Sang Anak menjawab dengan tegas, “Wahai Ibu, apakah Ibu tidak mendengar larangan dari Amirul Mukminin (gelar Hadhrat Khalifah Umar ra.) tentang mencampur susu dengan air? Itu adalah perbuatan curang!”
Sang Ibu membujuk, “Ah, sudahlah. Umar tidak akan tahu. Ini tengah malam, semua orang sedang tidur, dan dia tidak melihat kita.”
Sang Anak menjawab kembali, “Wahai Ibu, meskipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, sesungguhnya Tuhannya Amirul Mukminin (Allah SWT) melihat kita! Saya tidak akan melakukannya.”
Mendengar jawaban sang gadis yang miskin namun memiliki ketakwaan yang luar biasa dan rasa takut yang mendalam kepada Allah, Hadhrat Khalifah Umar ra. sangat terkesan. Beliau melihat kejujuran dan keimanan murni yang jauh lebih berharga daripada kekayaan atau status sosial.
Keesokan harinya, Hadhrat Khalifah Umar ra. memanggil putra-putranya yang belum menikah. Beliau menceritakan kisah gadis penjual susu tersebut dan berkata, “Siapa di antara kalian yang ingin menikahi seorang perempuan yang sangat jujur dan takut kepada Allah? Aku berharap Allah akan menganugerahkan keturunan yang mulia darinya.”
Putranya yang bernama Ashim bin Umar menyambut permintaan ayahnya dan menyatakan kesediaannya. Hadhrat Khalifah Umar ra. kemudian mengirim utusan untuk melamar gadis sederhana itu. Ibunya awalnya ragu karena status sosial mereka yang sangat jauh berbeda (putra seorang Khalifah dengan putri penjual susu), namun Hadhrat Khalifah Umar ra. menjelaskan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah karena ketakwaannya.
Pernikahan Ashim bin Umar dengan gadis penjual susu yang jujur ini diberkahi Allah. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Ummu Ashim. Ummu Ashim kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, dan dari pernikahan inilah lahir Hadhrat Umar bin Abdul Aziz, seorang yang terkenal akan keadilan dan kesalehannya.
Kisah ini menjadi teladan abadi tentang pentingnya memilih pasangan hidup berdasarkan ketakwaan dan akhlak, bukan kekayaan atau kedudukan. Inilah akhlak luhur sahabat Nabi dan keturunannya yang bahkan begitu mulianya hingga masih sangat sulit untuk bisa diikuti langkah-langkahnya di masa kini. Inilah perilaku mulia seseorang yang telah merasakan bergaul dengan utusan Allah Ta’ala.
Pernikahan yang berlandaskan ketakwaan insya Allah membuahkan surga yang tidak saja diwujudkan di akhirat, tetapi juga di dunia. Kehidupan syurgawi lebih bisa diwujudkan dan anak keturunan yang soleh dan solehah lebih mungkin untuk dilahirkan dan menjadi harta yang lebih berharga dari harta apapun di dunia. Inilah ganjaran yang akan manusia dapatkan dari menghargai segala perbedaan dan mengutamakan ketakwaan dalam menilai seseorang, termasuk menjadikannya pasangan bagi diri atau anak keturunannya di masa depan.
Views: 12
