DAMAIKAN DENGAN LISAN DAN TANGANMU
‘Mulutmu harimaumu.’ Ungkapan yang begitu sederhana namun menggambarkan bahwa lisan seseorang dapat menghancurkan kehidupan orang lain. Fitnah mampu merusak kehormatan dan mengakhiri masa depan seseorang tanpa perlu setetes darah pun tertumpah. Benarlah peringatan Al-Qur’an bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan [1]. Bahkan pada ayat lain Allah SWT menegaskan kembali, “Fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.” [2]
Kedua ayat ini seakan menjadi cermin bagi peristiwa tragis yang baru-baru ini terjadi: hilangnya nyawa seseorang yang hanya ingin beristirahat di masjid. Provokasi mengenai hilangnya kotak amal membuat massa berubah beringas, bahkan di dalam rumah Allah yang seharusnya dipenuhi ketenangan. Walau korban sudah tak berdaya, penganiayaan tetap berlanjut, seolah hawa nafsu mengalahkan akal, adab, dan rasa takut kepada Allah.
Masjid, tempat yang seharusnya menjadi sumber kesejukan, tempat menimba ilmu, dan tempat bernaung dalam keadaan darurat, seketika berubah menjadi tempat tragedi. Semua terjadi karena prasangka yang mendahului kebenaran, serta ketidakmampuan menahan lisan dan tangan dari menyakiti. Tidak ada ruang bagi praduga tak bersalah. Tidak ada upaya tabayyun. Yang ada hanyalah ledakan emosi yang menjelma menjadi kekerasan.
Lagi-lagi wajah lembut Islam tercoreng oleh perilaku sebagian orang yang mengaku penjaga identitas Islam namun justru menodai ajarannya. Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan kebengisan atau kesadisan. Sebaliknya, Islam adalah agama yang menyeru umatnya untuk bersikap santun, menjaga kehormatan sesama, serta mengedepankan prasangka baik demi terciptanya kehidupan yang harmonis.
Maka wajarlah jika muncul pertanyaan dalam hati: apa yang sesungguhnya terjadi dengan sebagian wajah umat Islam hari ini? Apakah ajaran suci telah dilupakan? Ataukah hati telah terlalu lama menjauh sehingga keindahan Islam tidak lagi terasa? Jawabannya hanya bisa kita temukan dengan kejujuran pada diri sendiri.
Kini saatnya kita bersama-sama kembali memperbaiki diri, kembali membaca dan menelaah ajaran Al-Qur’an, lalu mengamalkannya sebagai bukti cinta kepada Allah SWT. Setiap Muslim seharusnya mampu menjaga lisan dan tangannya, sebagaimana Hadhrat Rasulullah Muhammad saw bersabda, “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” [3] Bila perintah ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, tentu akan lahir masyarakat yang tenteram, masyarakat yang saling menjaga, mengasihi, dan menyayangi, serta terhindar dari prasangka buruk dan tindakan aniaya lainnya.
Hadhrat Masih Mau’ud as pun mengingatkan mengenai pentingnya sifat menutupi kesalahan. Beliau bersabda, “Satu sifat Tuhan adalah Sattar, Dia yang menutupi kelemahan-kelemahan manusia. Dia melihat seseorang melakukan dosa tetapi karena sifat-Nya ini menutupi dosanya sampai melampaui batas. Sedangkan manusia, bahkan meski belum melihat kelemahan seseorang, akan berteriak dan memprotes orang tersebut. Sesungguhnya manusia itu picik sedangkan Tuhan Maha Penyabar dan Maha Pemurah.”[4]
Jika manusia mampu meneladani sedikit saja dari sifat Ilahi itu, niscaya akan berkurang tindakan menghakimi dan bertambah sikap empati. Masyarakat akan lebih tenang, persaudaraan lebih kuat, dan masjid kembali menjadi tempat penuh rahmat, bukan ketakutan. Pada akhirnya, kedamaian itu bermula dari lisan dan tangan yang dijaga.
Referensi:
[1] Qs. Al-Baqarah, 2:191
[2] Qs. Al-Baqarah, 2:217
[3] HR. Bukhari dan Muslim
[4] Malfuzat, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as, 1960, Halaman 298
Views: 17
