AJARAN ISLAM TENTANG PERANG UNTUK PERDAMAIAN

Peperangan menjadi salah satu episode hidup yang harus dilalui Hadhrat Rasulullah saw. dalam menegakkan Islam di muka bumi. Namun, sekalipun peperangan diijinkan bahkan diajarkan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, dasarnya tetaplah untuk menegakkan kedamaian.

Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. dalam bukunya yang berjudul “Riwayat Hidup Rasulullah saw.” menjabarkan begitu panjang peraturan penting dalam peperangan yang diajarkan oleh Islam. Hadhrat Rasulullah saw. mengajarkan umatnya bahwa peperangan harus memenuhi peraturan berikut ini:

1. Perang boleh ditempuh hanya semata-mata untuk Tuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebesaran sendiri atau untuk kemajuan kepentingan-kepentingan lain apa pun.
2. Kita berperang hanya melawan siapa yang menyerang kita lebih dahulu.
3. Kita memerangi hanya pihak yang memerangi kita. Kita tidak boleh berperang dengan mereka yang tidak terlibat dalam peperangan.
4. Bahkan sesudah musuh telah memulai lebih dahulu menyerang, tetap menjadi kewajiban kita untuk berperang dalam batas-batas norma. Memperluas peperangan, baik secara teritorial atau mengenai pemakaian senjata, tidak dibenarkan.
5. Kita boleh memerangi hanya angkatan perang yang digerakkan oleh musuh untuk berperang di pihak mereka. Kita tidak boleh memerangi orang-orang yang lainnya di pihak musuh.
6. Dalam peperangan, kekebalan harus diberikan kepada segala upacara dan ibadah keagamaan. Jika musuh membiarkan aman tempat-tempat upacara keagamaan diadakan, maka kaum Muslimin juga harus berhenti berperang di tempat-tempat seperti itu.
7. Jika musuh memakai tempat peribadatan sebagai pangkalan untuk melakukan serangan, maka kaum Muslimin diperkenankan membalas serangan itu. Jika kaum Muslimin berbuat demikian, tidak akan disalahkan. Tidak diizinkan berperang bahkan di dekat tempat-tempat keagamaan.

Serangan terhadap tempat-tempat agama dan membinasakannya atau memberi kemudaratan dalam bentuk apa pun terhadapnya sama sekali dilarang. Suatu tempat keagamaan yang dipergunakan sebagai pangkalan operasi-operasi boleh mendapat balasan. Pertanggung-jawaban terhadap kerusakan yang ditimpakan kepada tempat itu kemudian dilimpahkan kepada musuh, tidak kepada kaum Muslimin.

8. Jika musuh mengetahui bahaya dan kekeliruan penyalahgunaan tempat keagamaan sebagai pangkalannya laiu memindahkan medan pertempuran, maka kaum Muslimin harus mengadakan penyesuaian terhadap perubahan itu. Kenyataan bahwa musuh memulai serangan dari suatu tempat keagamaan, ini tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menyerang tempat itu. Sebagai penghormatan, kaum Muslimin harus mengalihkan medan pertempuran segera sesudah musuh berbuat serupa.
9. Peperangan dilangsungkan hanya selama gangguan terhadap agama dan kemerdekaan beragama masih berjalan. Jika agama telah bebas dan gangguan kepada agama tidak diperkenankan lagi dan musuh menyatakan dan mulai bertindak sesuai dengan itu, maka tidak boleh ada peperangan lagi, walaupun musuh yang memulai peperangan.

Peraturan kesembilan sesuai dengan yang disampaikan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan jika mereka cenderung kepada perdamaian, maka cenderung pulalah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [1]

Untuk ayat ini, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. menjelaskan lebih lanjut dengan menyatakan, “Berarti bahwa, jika selama pertempuran berlangsung kaum kufar juga cenderung kepada perdamaian, kaum Muslimin harus segera menerima dan mengadakan perdamaian. Kaum Muslimin harus berbuat demikian juga, walaupun harus menghadapi risiko kena tipu. Mereka hendaknya bertawakal kepada Tuhan. Penipuan tak akan berhasil terhadap kaum Muslimin yang benar-benar mengandalkan pada pertolongan dari Tuhan. Kemenangan mereka bukanlah berkat mereka sendiri, tetapi adalah berkat Tuhan.”

Hadhrat Rasulullah saw. tidak saja mengajarkan amalan untuk cenderung pada perdamaian ini dengan kata-kata saja, namun beliau membuktikan ajaran tersebut dengan amalan langsung dalam banyak sekali peristiwa. Salah satunya sangat tampak dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiya.

Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut disebutkan, “Seorang belia, atau seseorang yang ayahnya masih hidup, jika ia pergi kepada Muhammad tanpa izin ayahnya atau walinya, akan dikembalikan kepada ayahnya atau walinya. Tetapi, seseorang yang pergi kepada kaum Kuraisy, ia tidak akan dikembalikan.”

Sekilas, klausul ini merugikan kaum Muslim. Namun, Hadhrat Rasulullah saw. menyetujui perjanjian yang sekilas merugikan ini tidak saja atas nama perdamaian, tetapi beliau saw. juga sudah memiliki perhitungan yang sangat matang. Beliau saw. menjelaskan kepada umatnya bahwa klausul ini pada akhirnya sangat menguntungkan bagi kaum Muslim dan tegaknya Islam di tanah Arab. Dengan sangat jitu beliau saw. menyampaikan:

“Tiap orang yang masuk Islam,” sabda beliau, “ia masuk karena menerima kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan yang diajarkan oleh Islam. Ia tidak menjadi orang Islam untuk menggabungkan diri kepada suatu jemaat dan menerima adat-adat kebiasaannya. Orang demikian itu akan tabligh Islam ke mana juga ia pergi dan menjadi wahana penyebar Islam. Tetapi orang yang meninggalkan Islam tidak berguna bagi kita. Jika dalam hatinya tidak lagi beriman kepada apa yang kita percaya, ia bukan lagi seorang di antara kita. Maka lebih baik ia pergi ke tempat lain.”

Ada banyak cara dalam mencapai kedamaian. Dalam beberapa kasus, perdamaian terkadang harus dicapai meskipun melalui peperangan. Peperangan kadang kala menjadi jalan satu-satunya untuk menekan pihak agresor agar bersedia menempuh perdamaian. Dan itulah yang dilakukan oleh Hadhrat Rasulullah saw. dalam berbagai peperangan yang dijalaninya.

Untuk perdamaian, Islam memang mengajarkan umatnya untuk berani berperang. Tetapi Islam sangat menentang umatnya menjadi agresor atau pihak yang memulai peperangan lebih dahulu. Hal ini terbukti dari begitu banyaknya syarat peperangan dalam Islam dan salah satunya mencantumkan bahwa umat Islam hanya boleh berperang bila pihaknya diserang lebih dulu.

Demikianlah Islam menerangkan kaitan antara perang dan perdamaian, bahwa ternyata peperangan boleh dijalankan demi mewujudkan perdamaian. Semoga umat Islam semakin cerdas dan mampu meresapi ajaran perdamaian ini dalam hati dan dalam kehidupannya. Aamiin Allaahumma Aamiin.

Referensi :
[1] QS. Al-Anfal: 62

Views: 112

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *