
Ajaran Islam tentang Persaudaraan
Sebuah kisah fenomenal pada masa Rasulullah s.a.w. Nabi s.a.w. saat mendapati sikap gegabah putra Zaid bin Haritsah r.a., yaitu Usama. Ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Usama bin Zaid bin Haritsah yang dikenal sebagai panglima angkatan perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya.
Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima perang Nabi tersebut terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.
Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. bahwa Usamah sang panglima angkatan perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi s.a.w. marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.
Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad s.a.w. kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.
Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad s.a.w. mengeluarkan sabda, “Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah s.w.t. yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang.”
Jawaban ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan kepercayaan orang lain dan tidak selayaknya kita berprasangka buruk terhadap keyakinan seseorang. Karena apa yang tersimpan di dalam hati, balasannya menjadi hak mutlak Allah s.w.t.
Saling mengkafirkan, saling merasa paling benar, dan seolah menjadi manusia paling sempurna dan berhak memberikan hukuman pada mereka yang tidak sepaham, menjadi fenomena umat Islam di zaman kini. Logikanya seorang muslim adalah yang selamat saudaranya dari lisan dan tangannya.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Sesama muslim seharusnya hidup selayaknya saudara.” (Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.) Kaum Muslim adalah bersaudara. Karena menganggap seseorang sebagai saudara, ia tidak akan rela membiarkannya nestapa. Kesadaran, perasaan, dan jiwanya akan senantiasa tersayat melihat saudaranya di negeri yang lain tengah getir menghadapi kesulitan hidup.
Karena eratnya kesatuan sesama kaum Muslim ini, Rasulullah s.a.w. bersabda, ”Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut mengajarkan kaum muslim merupakan satu tubuh yang saling terkait dan menyatu. Penyakit yang terdapat pada sebagian mereka akan dapat berpengaruh kepada bagian lainnya bila tidak ada pencegahan dan sebaliknya.
Karena satu tubuh, kaum muslim semestinya secara otomatis dapat merasakan penderitaan dan kesulitan yang dirasakan saudaranya yang lain. Begitu indahnya ajaran islam dan teladan Rasulullah s.a.w. bagaimana seharusnya bersikap kepada sesama muslim.
Apabila tingkah laku kita bertentangan dengan apa yang Rasulullah s.a.w. ajarkan, kepada siapa kalian mencontoh hal itu? Bukannya Rasulullah s.a.w. adalah suri tauladan terbaik? Semoga kita semua bisa senantiasa meneladani sifat yang dimiliki Rasulullah s.a.w. agar dalam kehidupan tercipta kedamaian dan saling mencintai antarsesama manusia. Tidak ada kebencian kepada siapapun.
Views: 236