
Akibat Mengambil Hak Orang Lain
Permasalahan lahan seringkali menimbulkan sengketa. Banyak orang berlomba untuk memiliki lahan seluas-luasnya, bahkan tanpa memikirkan hak orang lain. Seperti yang akan diceritakan dalam kisah ini. Kisah nyata yang dialami sendiri oleh keluarga saya.
Pada tahun 1996, orangtua saya memutuskan untuk membeli sebuah rumah di sebuah kompleks perumahan sederhana di kabupaten Bandung. Proses awal berjalan lancar. Selain melihat denah rumah, orangtua saya juga telah melakukan survei ke lokasi. Saat itu perumahan masih dalam tahap pembangunan.
Ketika tiba saatnya pindah, keluarga saya baru menyadari bahwa rumah di belakang rumah kami posisinya lebih mundur dan mengambil lahan rumah kami hampir satu meter. Saat itu setiap rumah memiliki lahan lebih di bagian belakang. Lahan yang masih terbuka memungkinkan kami untuk dapat melihat dengan jelas posisi rumah tetangga yang ada di belakang.
Rumah tetangga itu juga menutup akses selokan. Saat keluarga saya membicarakan masalah tersebut, sang pemilik rumah tetap ngotot merasa berhak membangun rumah lebih besar, apalagi keluarganya sudah tinggal lebih dulu di sana. Berbagai argumen disampaikan demi mempertahankan keegoisannya.
Kebetulan sekali ayah saya bekerja sebagai pegawai di Badan Pertanahan Nasional/Agraria. Beliau paham segala sesuatu tentang penggunaan lahan, pengurusan sertifikat tanah, dan sebagainya. Beliau sangat tahu bahwa tindakan tetangga kami itu bisa dibawa ke jalur hukum. Namun, dengan berbagai pertimbangan, keluarga saya memutuskan untuk mengalah dan mengikhlaskan lahan yang diambil itu.
Ternyata di daerah tempat tinggal kami ini, menyerobot lahan milik orang lain dianggap sebagai hal yang lumrah. Hari demi hari kami saksikan orang-orang yang memiliki jiwa serakah seenaknya mengambil lahan orang lain, bahkan mengambil lahan milik umum. Mereka yang minim pengetahuan dan tidak memiliki keberanian akan kalah oleh pihak yang merasa memiliki kuasa.
Di samping rumah saya terdapat sebuah kebun yang ditanami pohon jagung dan pohon nangka. Antara rumah saya dan kebun tersebut terdapat jalan yang menjadi akses masuk ke belakang perumahan. Lebar jalan tersebut bisa dilalui kendaraan roda empat.
Setiap beberapa bulan, sang pemilik kebun mengganti pagar bambu yang mengelilingi lahannya. Namun, saat memasang pagar baru, dia akan menancapkan pagar itu bergeser sekitar 10 cm dari tempat semula, hingga lahan kebun itu menjadi semakin luas sedangkan jalan menjadi sempit.
Keluarga saya dan juga beberapa tetangga pernah membicarakan permasalahan itu pada pemilik kebun dan juga melaporkan pada aparat desa. Namun, tidak ada tindakan apapun, padahal mulai banyak warga yang mengeluh karena penyempitan jalan.
Pada akhirnya semua pun menyaksikan, tidak ada hasil kebun yang bisa dipanen. Saat pohon-pohon di kebun itu berbuah, selalu ada yang mencuri buahnya. Setelah terus menerus diprotes warga, pemilik kebun pun akhirnya mau mengembalikan batas kebunnya seperti semula.
Pernah juga pada suatu hari, tiba-tiba saja datang beberapa orang yang mengatakan bahwa rumah saya dan juga beberapa rumah tetangga melanggar batas, mereka meminta kami membongkar rumah dan memberikan beberapa meter lahan milik kami untuk jalan umum, atau kami harus membayar untuk lahan yang mereka akui itu.
Para tetangga pun membicarakan hal ini dengan ayah saya. Dengan sabar ayah saya menunjukkan sertifikat rumah yang kami miliki, juga membantu para tetangga untuk membela hak milik mereka. Hingga orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu tidak berani lagi mengganggu kami.
Ayah saya juga memberikan edukasi kepada para tetangga mengenai kepemilikan lahan dan legalitas surat-surat yang mereka miliki. Sehingga, mereka pun terselamatkan dari oknum-oknum yang selalu mengganggu.
Lalu bagaimanakah kelanjutan kisah tetangga belakang rumah yang telah mengambil lahan rumah kami?
Awalnya, kehidupan mereka terlihat damai dan bahagia. Rumah mereka pun direnovasi menjadi lebih besar. Tidak lama kemudian, sebut saja Pak Tata, sakit keras hingga meninggal dunia. Lalu kemudian menyusul istrinya pun sakit-sakitan dan berpulang. Tinggallah anak-anak mereka yang sudah dewasa, namun mengalami berbagai masalah kehidupan yang berat.
Mulailah anak-anak Pak Tata datang ke rumah kami untuk meminjam uang. Kadang juga meminta beras karena tidak ada yang bisa dimakan. Kehidupan mereka serba kesulitan hingga sekarang. Walaupun dulu sikap keluarganya telah melukai hati kami, keluarga saya tetap berusaha membantu anak-anak Pak Tata semampunya.
Berbagai peristiwa yang terjadi telah membuka mata saya dan keluarga saya. Kami menyaksikan sendiri akibat dari mengambil hak orang lain. Tidak akan menunggu lama, teguran Allah akan langsung dirasakan di dunia ini. Hukuman berat pun menunggu di akhirat nanti.
Rasulullah saw. telah bersabda, “Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi.” [1]
Islam adalah agama yang sangat menghargai kepemilikan seseorang. Merampas hak orang lain adalah perbuatan zalim. Dalam shahih Muslim Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya maka Allah menentukan neraka baginya dan mengharamkan surga baginya,” ada seorang lelaki yang bertanya: “Walaupun itu adalah sesuatu yang sangat sederhana wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab: “Walaupun itu hanya sebatang kayu siwak dari pohon arak.” [2]
Referensi:
[1] HR. Bukhari dan Muslim
[2] https://www.alirsyad.or.id/memakan-hak-orang-lain/
Views: 824
Apakah ada hadist atau surat tentang org yg mengambil hak seorang ibu yg dijauhkan dari anak2nya? Apakah hukum dalam Islam
Jazakumullah
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,
Al-Qur’an tidak secara langsung membantah memisahkan orang tua dari anaknya, namun ada ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua.
Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan berbuat baik kepada orang tua adalah:
Al-Isra’ ayat 24, yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua, terutama ketika mereka sudah lanjut usia
Luqman ayat 15, yang memerintahkan untuk bersyukur kepada orang tua
Selain itu, Rasulullah SAW juga melarang memisahkan anak dari ibunya. Hadits ini menjelaskan bahwa anak sebaiknya tidak jauh dari orang tuanya, terutama ibunya, ketika usia dini.
Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan,
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْأُمِّ وَوَلَدِهَا»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى مَتَى؟، قَالَ: «حَتَّى يَبْلُغَ الْغُلَامُ وَتَحِيضَ الْجَارِيَةُ»
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Maka ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?”. Beliau menjawab, “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan”. (HR. Ad-Daraquthniy dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim.)
Dan kalau sampai ada yang memisahkan ibu dan anak karena alasan yang tidak benar, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barang siapa yang memisahkan antara ibu dengan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya kelak di hari kiamat”. (HR. Tirmidziy dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘Anhu. Tirmidziy berkata hadits ini hasan gharib. Adapun al-Albaniy menyatakan hadits ini hasan)