AKU BELAJAR SABAR DARI LUKA

Namaku Siti Sarah dan lahir di Kota Cianjur, Jawa Barat. Aku terlahir dari keluarga Jemaat Ahmadiyah tepatnya cabang Sindangkerta. Sejak kecil, aku sudah mengenal arti kesabaran, karena aku tumbuh dalam lingkungan yang tak selalu menerima keberadaanku. Aku dibesarkan dengan ajaran yang penuh cinta “Love for all, hatred for none”

Cinta untuk semua, tanpa kebencian kepada siapa pun. Tapi kenyataan diluar rumah tak selalu seindah itu.

Saat aku SD, aku sering dihina seperti dibilang bukan Muslim karena keyakinanku kepada Masih Mau’ud as. Karena hal itu teman-temanku menjauh dan aku pun sering pulang ke rumah sambil menangis dan bertanya pada ibu,
“Bu, kenapa aku dibenci? Kenapa mereka bilang aku sesat?”

Ibu hanya tersenyum lembut,
“Nak, sabar itu bukan lemah. Sabar itu kekuatan orang-orang yang dipilih Allah. Jangan balas keburukan dengan keburukan.”

Ayah pun menguatkan, mengajarkan bahwa iman itu bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dijaga dalam diam dan doa.

Lama kelamaan aku pun mulai mengerti, bahwa teman teman membenciku bukan karena pribadi, tapi karena aku berasal dari jemaat Ahmadiyah.

Kenangan lain yang sulit untuk dilupakan adalah ketika teman-teman sekolah membullyku, waktu itu aku memakai jilbab sendiri di sekolah yang justru mendapatkan pelecehan dari sesama teman. Jilbabku dilepas paksa kemudian dibuang dan tentunya membuat aku menangis, karena hal itu aku melaporkan kejadian ini kepada guru. Sayangnya, gurupun seolah tidak berpihak kepada saya yang justru berkata,
“Kamu harus keluar dari Ahmadiyah. Ahmadiyah Itu sesat.”

Sakit, tapi aku memilih diam karena aku ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar.

“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Anfal: 47)

Saya pulang kerumah dan kembali menemukan ketenangan dari ibu dan ayah yang selalu menguatkan saya. Mengajarkan untuk tidak menyimpan dendam, dan terus bersabar.

Tahun 1990, saat aku kelas 4 SD musibah besar menimpa kami. Mesjid kami diserang. Oleh sekitar 50 orang yang datang untuk menghancurkan isi masjid, membakar Al-Qur’an, melempar buku-buku hingga menjatuhkan speaker adzan dari atas menara. Mereka berkata, “Mesjid ini harus dibakar.” Kami hanya bisa menangis menyaksikan semuanya dengan hati yang remuk. Tapi kami tidak membalas. Kami hanya berdoa,
“Ya Allah, beri mereka hidayah. Jangan biarkan kebencian mengalahkan kasih-Mu.”

Seminggu kemudian ayahku dan para anggota Jemaat dipanggil ke Polsek. Mereka dipaksa menandatangani surat keluar dari Ahmadiyah. Tapi ayahku, menjawab dengan tegas,

“Walaupun nyawa taruhannya, saya tidak akan keluar dari Ahmadiyah. Saya bukan Ahmadiyah keturunan tapi iman sudah tertanam didalam hati saya.”

Begitu pula dengan pamanku. Banyak yang akhirnya menandatangani karena takut, tapi ayah dan pamanku tetap teguh, karena keyakinan bukan untuk dijual demi aman sesaat.

Tahun 2000, kami sekeluarga pindah ke jakarta, tepatnya dipasar Minggu, dan bergabung dengan jemaat Lenteng agung.

Alhamdulillah dicabang yang baru ini kami bisa beribadah dengan tenang, tidak ada lagi intimidasi. Kami aktif mengikuti jumatan, pengajian, dan kegiatan lainnya, meski harus menempuh perjalanan naik kereta. Tapi kami semangat, karena kami bebas beribadah.

Ayah pun wafat tahun 2021, dan ajaran, keteguhannya dalam iman, kesabaran akan kami kenang juga kami wariskan. Karena dari luka luka itu, aku belajar satu hal penting: tidak semua orang akan menerima kita, tapi Allah selalu bersama kita. Semoga Allah menempatkannya di surga terbaiknya.

Views: 86

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *