
Anak Saleh: Warisan Terbaik atau Penerus Dosa?
Banyak sekali orang yang mempersiapkan anak dan keturunan mereka. Dan, semua jerih payah mereka mereka kerahkan untuk itu. Yakni, bagaimana supaya anak keturunan mereka itu, setelah mereka meninggal dunia, menjadi pemilik dan penerus bagi harta kekayaan mereka. Jika keinginan manusia hanya sampai ke batas itu saja, dan tidak melakukan apa pun untuk Allah, berarti itu merupakan kehidupan neraka. Apa gunanya hal itu pada dirinya? Manusia hendaknya memikirkan, mengapa pada dirinya timbul keinginan untuk memperoleh anak? Sebab, dia hendaknya jangan hanya melakukan hal itu sebatas dorongan keinginan alamiah saja. Yakni, seperti rasa haus atau rasa lapar yang timbul. Namun, tatkala hal itu telah melampaui suatu batas tertentu, maka seharusnya ditimbulkan kerisauan untuk melakukan ishlah/perbaikan pada hal itu.
Allah telah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduni” [tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku] [1].
Kini, jika manusia itu sendiri tidak menjadi mukmin dan pelaku ibadah, serta tidak memenuhi tujuan sejati hidupnya, dan tidak membayar hak ibadah sepenuhnya, melainkan dia menjalani hidupnya dalam kefasikan dan kejahatan, serta melakukan dosa demi dosa, maka apa hasil buah keinginan orang seperti itu untuk memperoleh anak? Buahnya hanyalah dia ingin meninggalkan seorang penerus dirinya untuk melakukan dosa-dosa. Dia sendiri tidak benar, maka apa layaknya dia menghendaki anak keturunan?
Jadi, selama keinginan akan anak keturunan itu tidak semata-mata agar dia nanti menjadi orang yang beragama dan muttaqi, serta taat kepada Allah Taala, dan kelak agar menjadi khadim bagi agama-Nya, maka selama itu pula keinginan tersebut sama sekali tidak berguna. Bahkan merupakan semacam maksiat dan dosa. Dan bukannya hal itu dinamakan sebagai keturunan saleh, melainkan lebih tepat bila disebut keturunan bejat. Namun, jika seseorang mengatakan bahwa dia menginginkan anak yang saleh dan muttaqi serta penghidmat agama, maka ucapannya itu hanya merupakan pernyataan belaka selama dia sendiri belum melakukan ishlah/perbaikan pada kondisi dirinya. Jika dia sendiri menjalani kehidupan yang fasik dan jahat, dan dari mulutnya dia mengatakan bahwa dia menginginkan anak yang saleh dan muttaqi, berarti dia itu sudah dusta dalam pernyataannya.
Sebelum menghendaki anak yang saleh dan muttaqi, adalah mutlak agar orang itu sendiri melakukan ishlah/perbaikan pada dirinya, dan menjadikan hidupnya sebagai kehidupan yang penuh takwa. Barulah keinginannya yang seperti itu akan menjadi suatu keinginan yang menghasilkan buah. Dan anak-anak yang seperti itu pada hakikatnya merupakan keturunan yang saleh. Namun, jika keinginan itu hanya supaya anak itu menjadi pewaris harta kekayaan kita, atau supaya dia sangat terkenal dan masyhur, keinginan yang semacam itu adalah syirik.
Jadi, ringkasnya, hendaknya keinginan akan anak itu hanya didasari oleh kebaikan, jangan sampai didasari oleh aspek dan pemikiran bahwa (anak) itu akan menjadi penerus dosa selanjutnya. Satu hal lainnya adalah, besar sekali keinginan orang-orang akan anak, dan mereka pun memperoleh anak. Namun, tidak pernah terlihat bahwa mereka berusaha keras dan memikirkan tentang tarbiyyat anak-anak itu, tentang bagaimana membuat perilaku anak-anak itu bagus dan baik, serta tentang bagaimana membuat anak-anak itu menjadi patuh kepada Allah Taala. Mereka tidak pernah memanjatkan doa untuk hal-hal itu, dan tidak pula memperhatikan jenjang-jenjang tarbiyyat.
Allah Taala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an mengenai anak: “Rabbana hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yuniwwaj ‘alnaa lil muttaqiina imaamaa” [2]. Yakni: “Ya Tuhan, anugerahkanlah kesejukan hati kepada kami melalui istri-istri dan anak-anak kami.” Dan hal itu baru dapat terjadi apabila mereka nanti tidak akan menjalani kehidupan yang penuh kefasikan dan kejahatan, melainkan mereka menjalani kehidupan sebagai hamba-hamba Sang Rahmaan, dan menjadi orang-orang yang mendahulukan Allah Taala atas segala sesuatu.
Selanjutnya dikatakan: “Waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa.” Anak-anak jika baik dan muttaqi, maka itu akan merupakan imam bagi mereka. Itu juga merupakan doa agar menjadi muttaqi.
Semoga Allah Taala memberikan karunia agar kita menjadi orang-orang muttaqi dan semoga keinginan kita akan anak keturunan adalah berdasarkan pada asas itu. Aamiin [3].
Hazrat Khalifatul Masih Al-Khamis Ayyadahullahu Ta‘ala binashrihil ‘Aziz mengatakan bahwa: “…Jadi, saat seseorang ingin punya anak yang saleh maka ia harus berdoa agar dianugerahi anak keturunan yang saleh. Selain itu, ia juga harus beramal saleh dan bertakwa, yang mana merupakan sifat dan karakter orang-orang saleh dan para Nabi. Agar dapat menjaga keturunan kita dari pengaruh buruk masa ini, adalah penting suami dan istri bertindak laku dan beramal saleh.” [4]
Referensi:
[1] Al-Qur’an. Surah Adz-Dzariyat, 51:56.
[2] Al-Qur’an. Surah Al-Furqan, 25:74.
[3] Malfuzat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, Jilid 2, hlm. 370–373.
[4] Ringkasan Khutbah Jumat oleh Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Masjid Baitul Futuh, UK, 14 Juli 2017.
Visits: 15