ANTARA KETEKUNAN IBADAH MAHDHAH DAN KEINDAHAN AKHLAK, HARUSKAH SENANTIASA SEJALAN?

Seperti yang kita pahami, bahwasanya fondasi utama seorang muslim dalam kehidupan ialah ibadah. Melalui ibadah, seorang hamba menunjukkan ketundukan dan kecintaannya kepada Allah Ta’ala. Shalat-shalat nafal (seperti tahajud, dhuha, tasbih, dll.), berdzikir, membaca Al-Qur’an, hingga puasa sunah adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Semuanya itu termasuk ibadah mahdhah, yang berarti ibadah langsung antara hamba dan Rabb-nya yang begitu mulia dan berpahala besar.

Namun, Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (ḥablumminallāh), tetapi juga menuntun umatnya untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia (ḥablumminannās). Oleh karena itu, kesungguhan dalam ibadah tidak boleh disertai dengan kelalaian dalam menjaga akhlak. Islam memandang kedua aspek tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

  • Ibadah Mahdhah: Amalan Utama yang Menghubungkan Hamba dengan Tuhannya

Tidak diragukan lagi bahwa ibadah mahdhah seperti shalat malam, shalat dhuha, dzikir, tilawah, dan puasa sunah memiliki keutamaan luar biasa. Maka, hal tersebut sudah sepatutnya menjadi prioritas seorang Muslim.

Allah Ta’ala. berfirman,

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Rahman ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan merendahkan diri … “ [1]

Mari perhatikan, ayat di atas mengindikasikan bahwa seorang hamba yang dekat kepada Allah Ta’ala adalah mereka yang tak hanya mengisi malam dengan shalat, tetapi juga membumikan ibadahnya melalui akhlak yang luhur, yakni senantiasa tawadhu.

Selaras dengan itu, Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda, “Janganlah bertakabbur dalam bentuk apapun. Jangan (takabbur) dari segi ilmu, jangan pula dari segi kesejahteraan, jabatan dan kehormatan, jangan pula karena perkauman (kebangsaan), kelompok dan nasab (garis keturunan). Sebab, kebanyakan takabbur timbul dari hal-hal itu.” [2]

Hadhrat Rasulullah saw. merupakan sosok teladan yang paling sempurna. Dalam banyak riwayat, tentunya kita ketahui bahwa beliau saw. rutin menghidupkan malam dengan sujud dan munajat, namun juga paling lembut terhadap keluarganya, para sahabat, bahkan kepada musuh sekalipun. Dalam sebuah hadits disebutkan,

“Sesungguhnya yang paling sempurna imannya di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” [3]

Sungguh benar, pada hadits tersebut menegaskan bahwa kekhusyukan dalam ibadah kepada Allah Ta’ala harus sejalan dengan keluhuran akhlak kepada makhluk-Nya.

  • Ibadah Sosial: Menjaga Lisan dan Hati Adalah Bentuk Ketaatan

Di sisi lain, banyak di antara manusia yang tekun menjalankan ibadah mahdhah, tetapi lalai menjaga lisannya, ringan dalam berghibah, iri hati, menuduh, atau berburuk sangka kepada yang lain. Hal ini tentu merupakan bentuk ketimpangan dalam memahami ajaran Islam.

Rasulullah saw. memperingatkan dalam hadits,

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah yang tidak memiliki uang dan harta.” Rasulullah bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga membawa dosa karena mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Maka, pahala-pahalanya diberikan kepada orang-orang yang dianiaya itu. Jika pahalanya habis sebelum semua tuntutan selesai, dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” [4]

Hadits ini menunjukkan bahwa ibadah mahdhah tidak cukup apabila tidak diiringi dengan kepekaan sosial dan kesadaran akhlak.

  • Ghibah dan Su’udzan Ternyata Dapat Merusak Amal Kebaikan

Dalam kehidupan sehari-hari, sikap seperti berprasangka buruk (su’udzan), iri hati, dan menggunjing (ghibah) seringkali dianggap sepele. Padahal, dalam pandangan syariat, ini adalah dosa besar yang dapat menggerus pahala dan memperkeruh hubungan antar sesama.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai, orang-orang yang beriman, hindarilah banyak prasangka karena sebagian prasangka itu dosa. Dan, jangan kamu saling memata-matai, dan jangan pula sebagian kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah salah seorang kamu suka memakan daging saudaranya yang mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah berulang-ulang menerima taubat dan Maha Penyayang.” [5]

Termakub jelas, bahwa Allah Ta’ala telah melarang manusia untuk tidak melakukan hal-hal tercela yang telah disebutkan pada ayat di atas. Betapa besarnya perhatian Islam terhadap akhlak antarindividu. Menjaga lisan dan hati adalah bentuk ketaatan yang agung.

Seimbangkan Antara Ibadah dan Akhlak

Ibadah langsung kepada Allah Ta’ala adalah amalan yang sangat penting dan tidak boleh ditinggalkan. Namun, kesungguhan dalam menjalankan shalat malam atau tilawah akan lebih sempurna bila dibarengi dengan kesantunan kepada sesama, keikhlasan dalam membantu, dan kebersihan hati dalam berinteraksi.

Ibadah bukan hanya berdiri di atas sajadah, tetapi juga bagaimana kita menahan lidah dari mencela, menundukkan hati dari iri, dan menjaga kehormatan sesama Muslim.

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. beliau bersabda,

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” [6]

Maka dari itu, mari senantiasa meningkatkan ibadah kepada-Nya, sekaligus memperbaiki akhlak diri terhadap manusia. Itulah keseimbangan yang mencerminkan iman yang utuh dan Islam yang benar-benar dijalani secara menyeluruh. Sebab berperangai indah pun adalah sebagian perintah dari-Nya.

 

Referensi :

[1] QS. Al-Furqān: 64

[2] Khutbah Jum’at Hadhrat Mirza Masroor Ahmad,16 Juni 2017

[3] HR. Tirmidzi

[4] HR. Muslim

[5] QS. Al-Ḥujurāt: 13

[6] HR. Bukhari dan Muslim

Views: 53

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *