Hidup Bersahaja dengan Kesederhanaan

We felt our money gave us infinite power

We forgot to teach our children about history and honor

We didn’t have any time to lose

When we were (were)

So busy feeling so satisfied.

Is Allah satisfied?

Is Allah satisfied?

Penggalan lirik sebuah lagu berjudul “Awaken” yang dilantunkan oleh Maher Zain, seorang penyanyi asal Swedia berdarah Lebanon ini, menggambarkan betapa manusia saat ini telah dirasuki oleh pola hidup hedonis, mencintai kelezatan dunia di atas segala-galanya. Mereka merasa begitu puas dengan kenikmatan dunia fana yang seolah abadi sehingga melupakan segala kesulitan yang lebih mampu menarik Ridha Ilahi.

Pada dasarnya manusia memiliki fitrat lebih konsumtif menghamburkan uang, manakala mulai memperoleh kehidupan yang mapan dengan kondisi ekonomi berlimpah. Seakan-akan semua harta bendanya kurang berarti bila tidak digunakan untuk keperluan yang lebih besar dengan berbagai kemewahan. Termasuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kurang penting. Begitulah keadaan manusia, lebih mudah beradaptasi dengan hidup nyaman dibandingkan dengan hidup yang penuh kesulitan.

Namun perlu disadari bahwa kehidupan berjalan seperti roda. Kadang berada di atas menangguk berbagai kenikmatan. Namun ada kalanya tiba-tiba berada di bawah, hidup dipenuhi dengan kesulitan. Sehingga tidak ada pihak lain yang bersalah kecuali dirinya sendiri.

Kenyataan pahit lagi menghinakan ini bisa saja melanda perekonomian rumah tangga siapapun yang mungkin sebelumnya berlimpah harta. Kemungkinan ini bisa saja terjadi karena kesalahan dalam mengatur keuangan atau karena income masih pas-pasan, hingga memaksa seseorang terjerembab dalam kubangan krisis ekonomi yang tidak diketahui kapan akan berakhir.

Karenanya Hz. Umar ra. mengingatkan kita semua melalui sebuah nasehat yang penting, “Biasakan diri dengan hidup susah, karena kesenangan tidak akan kekal selamanya.”

Sebuah teladan yang baik dikisahkan pada saat beberapa orang sahabat termasuk Hz. Ali ra., Hz. Utsman ra., Hz. Zubair ra., dan Hz. Thalhah ra. menemui Hz. Hafshah ra. Beliau yang juga merupakan putri dari Hz. Umar ra., ummul mukminin serta istri Rasulullah saw. diharapkan agar berkenan menyampaikan usulan kenaikan tunjangan untuk Hz. Umar ra., yang kala itu telah menjadi seorang Khalifah.

Hz. Hafsah ra. pun memberanikan diri menyampaikan usulan tersebut. Namun seketika itu pula wajah Hz. Umar ra. memerah menandakan rasa tidak suka beliau atas usulan tersebut. Hz. Umar ra. mengajukan beberapa pertanyaan kepada putrinya.

Pertama beliau meminta Hz. Hafsah menceritakan tentang pakaian Nabi saw., yang terbaik yang pernah beliau saw. miliki di rumahnya. Hz. Hafsah ra. menjawab bahwa Rasulullah Saw. memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang biasa beliau kenakan pada hari Jum’at atau ketika menemui tamu.

Kedua Hz. Umar ra. menanyakan makanan apakah yang terlezat, yang pernah dimakan oleh Nabi saw. di rumahnya. Hz. Hafsah ra. menjawab, roti yang terbuat dari tepung kasar lalu dicelupkan ke dalam kaleng berisi minyak. Rasulullah Saw memakannya ketika masih panas, kemudian dilipat menjadi beberapa lipatan.

Pernah suatu hari Hz. Hafsah ra. menyapu sekerat roti dengan bekas-bekas mentega yang terdapat dalam sebuah kaleng minyak yang hampir kosong. Rasulullah saw memakannya dengan penuh kenikmatan dan beliau juga ingin membagi-bagikannya kepada orang lain.

Ketiga, Hz. Umar ra. meminta putrinya menceritakan apa alas tidur terbaik yang pernah digunakan oleh Rasulullah saw. di rumahnya. Hz. Hafsah ra. mengatakan Rasulullah Saw. memiliki sehelai kain tebal. Pada musim panas, kain itu dilipat menjadi empat, dan pada musim dingin dilipat menjadi dua, separuh digunakan untuk alas tidurnya dan yang separuh lagi untuk selimutnya.

Setelah mendengar semua jawaban putrinya, Hz. Umar ra. pun berkata, “Nah Hafshah, sekarang pergilah dan katakan kepada mereka bahwa Nabi saw. telah menunjukkan contoh kehidupan yang terbaik dan aku harus mengikutinya. Perumpamaanku dengan dua orang sahabatku, yaitu Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. adalah seperti tiga orang musafir yang sedang melalui sebuah jalan yang sama.

Musafir yang pertama telah melalui jalan tersebut dan telah sampai ke tempat tujuan. Adapun yang ketiga, sekarang baru memulai perjalanannya. Jika ia menempuh jalan yang telah mereka tempuh sebelumnya, maka ia akan menjumpai keduanya di tempat tujuan yang sama. Jika ia tidak menempuh jalan mereka yang mendahuluinya, tentu ia tidak akan sampai ke tempat mereka.”

Betapa indah tauladan kesederhanaan kehidupan seorang Khalifah yang sangat ditakuti oleh para raja pada masa itu. Namun beliau telah menjalani dengan penuh kezuhudan meneladani sang Junjungan tercinta Rasulullah Muhammad Saw.

Dalam menjalani dan menikmati kehidupan dunia, Allah ta’ala telah memberikan petunjuk terbaik agar manusia tidak tergelincir pada penyesalan. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” [QS. Al-Isrâ’ 17:29]

Kesederhanaan sejatinya adalah sebuah tatanan hidup yang menjauhi pola konsumsi berlebihan (conspicuous consumption) atau menjauhi perilaku bermewah-mewahan. Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang ekstrim yaitu boros (tabzîr) dan kikir (bakhil).

Semoga kita dapat meneladani kesederhanaan Rasulullah Saw dalam kehidupan kita dan anak keturunan kita. Seorang bijak berkata harga diri dan kemuliaan umat Islam bukanlah diukur dari seberapa banyak harta dunia yang telah dikumpulkan di bawah kakinya. Namun dilihat dari seberapa kuat dia menggenggam Tauhid di dalam hatinya hingga pesona dunia yang semu tak mampu menenggelamkannya.

Visits: 401

Aisyah Begum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *