Hikmah di Balik Air Mata: Allah Tidak Pernah Salah dalam Menetapkan Takdir

Aku, Hana Valorie Hamidah, anak bungsu dalam keluargaku, sekaligus cucu perempuan satu-satunya dari pihak ayah. Sejak kecil, hidupku jauh dari kata berlebihan. Ayah dan ibuku mendidikku untuk selalu merasa cukup dengan apa yang ada. Meski hidup pas-pasan, aku selalu merasa Allah mencukupkan rezekiku tepat pada waktunya. Saat aku butuh sesuatu, selalu ada jalan. Tidak lebih, tidak kurang.

Tapi justru dalam kesederhanaan itulah ujian datang. Aku sering merasa terasing di antara teman-temanku yang hidup lebih berkecukupan. Di lingkungan keluarga besar pun begitu. Aku seperti dinding transparan yang ada tetapi tak dianggap. Ketika aku mendapat pencapaian, bukannya mendapat ucapan selamat, aku justru merasakan ketidaksenangan dalam diam mereka. Aku bertanya-tanya, apa salahku? Aku tidak pernah merasa bersaing dengan siapa pun, tetapi mengapa seolah-olah keberhasilanku adalah sesuatu yang mengganggu mereka?

Seiring waktu, aku menemukan ketenangan dalam menghafal Al-Qur’an. Aku memulainya sejak kelas 5 SD, bukan karena paksaan orang tua, melainkan karena aku tahu bahwa jenjang sekolah selanjutnya akan lebih sulit. Aku ingin bersiap sejak dini. Aku pun mulai mengikuti lomba-lomba tahfiz dan alhamdulillah berhasil masuk dalam tiga besar. Namun, seperti biasa, keluarga besarku tetap tak peduli. Mereka seakan mengharamkan diri untuk sekadar mengapresiasi pencapaianku.

Tapi aku tidak sendiri. Aku masih memiliki ayah dan ibu yang selalu mendukungku. Ayahku, meski terkadang menyebalkan dengan sifatnya yang tegas, selalu menjadi guru terbaik bagiku. Ia mengajariku banyak hal, bahkan dalam pelajaran yang katanya ia tidak suka. Dari beliaulah aku berkembang menjadi anak yang semakin haus akan ilmu. Namun, perkembangan ini justru membuka babak baru dalam hidupku—kali ini di sekolah.

Aku mulai merasakan perlakuan tidak adil dari teman-teman. Aku sering disepelekan, dijauhi, dan hanya dicari ketika mereka butuh bantuan. Tak jarang, aku mengalami perundungan hanya karena aku berbeda. Aku bukan tipe orang yang mudah mengadu, tapi jika sudah melewati batas, aku tak segan untuk berbicara.

Semakin bertambah usia, semakin aku memahami bahwa dunia ini penuh dengan ujian. Namun, ibuku selalu mengingatkanku, “Adek, seburuk apa pun seseorang, mereka tetap memiliki hak atas kebaikanmu. Jangan biarkan keburukan orang lain mengubah akhlakmu. Haqququllah (hak Allah) dan Haqququl ibad (hak manusia) harus ditegakkan.”

Aku belajar satu hal dari nasihat ibuku: kebaikan bukanlah tentang siapa yang pantas mendapatkannya, tetapi tentang bagaimana aku memilih untuk tetap menjadi hamba Allah yang berakhlak baik. Aku mulai lebih mendekatkan diri kepada Allah, lebih terbuka dengan kedua orang tuaku, dan lebih ikhlas menjalani setiap ujian.

Aku menyadari bahwa air mata bukan hanya milik kesedihan. Jika Allah mengizinkan aku menangis karena sakit hati dan kecewa, maka Allah juga akan menggantinya dengan air mata bahagia di waktu yang tepat. Kini, aku bisa merasakan bagaimana setiap ujian yang dulu membuatku menangis, kini justru menjadi bagian dari kekuatanku.

Untuk kalian yang sedang diuji, jangan biarkan luka membuat kalian jauh dari Allah. Justru dalam setiap kesedihan, ada kesempatan untuk lebih dekat kepada-Nya. Serahkan semuanya kepada Allah. Karena pada akhirnya, Dia-lah yang Maha Adil dan Maha Mengetahui siapa yang pantas mendapatkan kebahagiaan sejati.

Jangan pernah takut melangkah. Jangan biarkan sikap manusia mengubah prinsip dan akhlak kita. Sebab, Allah tidak pernah salah dalam menetapkan takdir. Apa yang kita jalani hari ini adalah bagian dari rencana terbaik-Nya untuk masa depan yang lebih indah.

Views: 131

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *