ILMU SYARIAT, PRIORITAS UTAMA UNTUK DIPELAJARI

Ilmu merupakan penerang kehidupan. Dengan ilmu, manusia dibimbing menuju kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap umat Muslim. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Majah:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” [1]

Ilmu yang wajib dipelajari meliputi ilmu agama dan ilmu dunia. Namun, seorang Muslim harus mendahulukan ilmu agama, seperti Al-Qur’an, Hadis, dan Fiqih sebelum mempelajari ilmu lainnya. Al-Qur’an dan Hadits adalah fondasi utama dalam agama Islam karena keduanya merupakan sumber ajaran, hukum, dan pedoman hidup yang langsung berasal dari Allah dan Rasul-Nya, serta berkaitan erat dengan keselamatan di dunia dan akhirat.

Kedua sumber ini tidak boleh dipisahkan, karena Al-Qur’an memerintahkan kita untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” [2]

Untuk memahami Al-Qur’an dan Hadis dengan benar, dibutuhkan peran guru atau ulama yang berkompeten agar kita terhindar dari kesalahan dalam memahami ajaran agama. Allah Ta’ala berfirman:

“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” [3]

Lalu, bagaimana dengan mempelajari ilmu dunia?

Islam tidak melarang mempelajari ilmu dunia seperti kedokteran, astronomi, dan lainnya, selama tidak bertentangan dengan syariat. Ilmu yang bertentangan dengan syariat seperti sihir, perdukunan, atau yang digunakan untuk kejahatan diharamkan dan tidak boleh dipelajari. Ilmu dunia yang bermanfaat pun harus dipelajari dengan niat yang benar, bukan semata-mata untuk mengejar dunia, melainkan untuk ibadah dan kemaslahatan umat.

Sebagaimana kutipan dari Imam Syafi’i:
“Setiap ilmu selain Al-Qur’an itu menyibukkan, kecuali hadits dan fikih dalam agama. Ilmu itu hanya perkataan, kecuali Al-Qur’an dan hadits Nabi, dan selain itu hanyalah bisikan setan.” [4]

Imam Syafi’i bukan melarang secara mutlak mempelajari ilmu lain, namun menekankan agar ilmu yang dipelajari tidak mengabaikan syariat dan tidak menjauhkan seseorang dari agama. Ilmu dunia tanpa akidah yang kuat dapat membahayakan tauhid dan menyesatkan pemikiran.

Contohnya adalah Ibnu Rawandi, seorang cendekiawan Muslim abad kesembilan yang mempelajari filsafat Yunani secara mendalam. Awalnya ia menulis buku untuk membela Islam, tetapi karena tenggelam dalam logika materialis, akhirnya ia meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam. Ia menolak wahyu, mengingkari kenabian, dan meninggal dalam keadaan murtad. [5]

Tidak semua ilmu tercela. Imam Syafi’i sendiri mempelajari berbagai disiplin ilmu, namun tetap mengaitkannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Beliau mengajarkan bahwa niat utama dalam menuntut ilmu adalah untuk meningkatkan ketakwaan dan kemaslahatan umat.

Mari kita jadikan ilmu syariat sebagai prioritas utama. Bergurulah pada ulama yang kompeten, jauhilah perdebatan yang tidak bermanfaat, dan utamakan ilmu yang membawa ketenangan serta persatuan, agar hidup kita dipenuhi dengan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Referensi:
[1] HR. Ibnu Majah, no. 224, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah
[2] QS. An-Nisa’: 59
[3] QS. An-Nahl: 43
[4] Imam Syafi’i
[5] IBTimes.id. (n.d.). Ibn Rawandi Al-Razi: Menolak Konsep Kenabian karena Tak Masuk Akal. https://ibtimes.id/ibn-rawandi-al-razi-menolak-konsep-kenabian-karena-tak-masuk-akal/ (Diakses pada 15 Mei 2025)

Visits: 36

Liana S. Syam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *