
Jangan Bosan Berbuat Ihsan, Teruslah Menebar Benih Kebaikan
Jika kita menghitung nikmat yang diberikan oleh Allah, maka mulut kita akan terasa lelah sebelum sampai pada hitungan nikmat paling akhir. Begitu banyaknya kebaikan yang Dia anugerahkan pada makhluk-Nya, contoh paling sederhana namun teramat berharga ialah keleluasaan semua makhluk menghirup oksigen secara gratis. Bisa dibayangkan, jika Allah tidak memberikannya secara cuma-cuma, semua makhluk akan saling senggol demi bisa bernafas lega.
Dengan segala nikmat yang telah Allah anugerahkan pada kita, itu merupakan modal untuk kita berbuat kebaikan seperti yang telah Allah contohkan. Karena, tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah, dan salah satu bentuk ibadah itu adalah menebar kebaikan.
Namun, bukan ibadah jika jalannya mudah. Sejatinya, tantangan juga rintangan dalam beribadah adalah diri kita sendiri. Jika rintangan untuk mendirikan shalat lima waktu adalah rasa malas, maka rintangan dalam menebar kebaikan ada pada bagaimana kita menyikapi sikap seseorang.
Tidak bisa dipungkiri, manusia memiliki sifat berharap suatu balasan. Oleh sebab itu, sering kali kita berhenti berlaku ihsan pada seseorang dengan dalih ia pun tidak berlaku demikian. Tidak jarang, kita merasa sudah sering membantu si fulan diiringi kebaikan-kebaikan lain yang kita lakukan. Tapi dia malah berbuat sebaliknya: menyakiti hati kita dengan ucapan maupun tindakannya.
Untuk mengikis perasaan tersebut, kita harus menyadari bahwa kasih sayang dan kebaikan Allah tak pernah berhenti mengalir dalam hidup kita meskipun kita sering mengecewakan-Nya. ‘Tangan-Nya’ tetap sigap menolong ketika kita ‘terjatuh’.
Dengan rahmat dan kebaikan-Nya yang begitu banyak pada kita, seharusnya kita tidak menebar benih kebaikan hanya pada mereka yang memiliki ladang bagus. Bahkan, jika dilakukan terus menerus, menebar benih pada ladang yang tandus pun suatu saat akan membuahkan hasil.
Sebuah petuah dari Robert Louis Stevenson akan menyadarkan kita bahwa kita tidak perlu menghitung berapa banyak kebaikan yang kita dapatkan dari benih kebaikan yang telah kita tanam. Namun, yang perlu selalu kita ingat adalah sebagus apa benih kebaikan yang telah kita tebar, “Jangan menilai setiap hari dari hasil panen yang kamu
tuai, tapi dari benih yang kamu tanam.”
Karena sejatinya, menebar benih kebaikan sama halnya dengan menebar benih tanaman. Jika kita selalu melihat hasil yang kita tanam tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka kita hanya akan merasa kecewa lalu berhenti untuk kembali menanamnya. Namun, jika fokus kita tertuju pada bagaimana kita telah menebar benih terbaik dan mengesampingkan hasil melimpah dari tebaran kita, kita akan merasa bersyukur dengan apapun hasil akhirnya.
Petuah di atas menyambungkan kita pada suatu kisah penuh hikmah:
Suatu hari, seorang kakek paruh baya mengeluh karena pohon durian yang ditanamnya sejak 8 tahun lalu tak kunjung berbuah. Padahal, ia yakin betul bahwa bibitnya ia pilih dari hasil seleksi bibit terbaik dari yang paling baik.
Hingga suatu ketika, tumbuh bunga pada pohon durian itu. Sang kakek merasa sangat senang, karena akhirnya ia akan menuai apa yang telah lama ia tanam. Namun, keesokan harinya didapatinya bunga tersebut rontok dan tergeletak begitu saja di tanah.
Sang kakek murka, ia berniat untuk menebang dan tidak ingin merawat pohon itu lagi. Hipertensi yang ia derita seketika kambuh diiringi komplikasi tatkala berhari-hari ia luapkan amarahnya karena sebuah pohon yang tak pernah berbuah. Hingga akhirnya, sang kakek tutup usia.
Singkat cerita, kiranya setahun setelah kakek tiada, bunga pada pohon durian itu tumbuh bersamaan, hingga kemudian bunga itu berubah menjadi buah durian yang rasanya manis dan legit. Bahkan, tak hanya anak dan cucunya saja yang menikmati, warga sekitarpun mendapat antrian untuk mencicipi hasil menanam sang kakek itu setiap musim durian tiba.
Kisah ini mengingatkan kita pentingnya untuk istiqomah dan sabar dalam menebar kebaikan. Mungkin saja, balasan dari kebaikan kita tidak instan diterima. Atau mungkin saja, buah dari hasil tebaran itu juga bukan ditujukan untuk kita, tetapi anak keturunan kita.
Jika sang kakek tidak mengurungkan niatnya untuk menebang, maka tidak akan ada yang merasakan buah yang selama ini dinantikan. Andai sang kakek tidak terburu-buru dan berlarut dalam amarah, mungkin saja ia yang akan pertama kali memetik dan mencicipi buah.
Begitupun benih kebaikan, jika kita berlarut mengingat kebaikan yang telah kita tebar pada mereka yang akhirnya menyakiti, itu hanya akan menciptakan penyakit pada rohani yang akan merugikan diri. Namun, jika kita istiqomah menebar benih ihsan pada setiap insan, maka Dia akan menghujani kita oleh buah dari amalan.
Seperti janji Allah yang tertulis pada Al-Qur’an Karim, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya” (Surah al-Zalzalah [99]: 7). Bukan sebuah dongeng belaka, lazim kita temui seorang anak diperlakukan baik oleh orang lain karena orang tua atau kakek dan neneknya dulu sering berlaku baik pada siapapun.
Semoga dengan petuah juga kisah yang penuh hikmah ini menjadi motivasi untuk kita semua agar terus menebar kebaikan meskipun tindakan seseorang mengecewakan, karena hasil akhirnya akan selalu membahagiakan.
Visits: 136