JEJAK NASIHAT, JEJAK KEDAMAIAN

“Jika nasihat yang baik tidak memberikan pengaruh bagi perubahan seseorang, maka ketahuilah bahwa hatinya itu kosong.” — Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.

Jika kita perhatikan Firman Allah SWT dalam Qs. Al-A‘la, 87:9–10: “Maka berilah nasihat, sesungguhnya nasehat itu bermanfaat” [1] dan “Tentu orang yang takut kepada Tuhan akan mengambil pelajaran (nasihat)” [1].

Kondisi hati manusia senantiasa berubah. Terkadang kondisinya takut, terkadang tidak. Ketika kondisinya takut kepada Allah Ta’ala, maka dengan sedikit nasihat saja atau sederhana maka akan berdampak luar biasa. Namun ketika hati sedang tidak ada rasa takut, sehebat apa pun sebuah nasihat, maka akan sia-sia.

Akan ada pengalaman dalam kehidupan manusia yaitu ketika kita mau menerima satu nasihat dan ada kalanya ketika puluhan nasihat tidak berpengaruh apa-apa. Itu karena kondisi hati yang berubah-ubah.

Dalam kedua ayat tersebut disebutkan bahwa kita harus mengamalkan nasihat secara dawam dan juga harus memberikan nasihat secara dawam karena kita tidak tahu kapan petunjuk datang dan kapan tertutup. Juga kewajibanmu agar memberikan nasihat secara dawam karena kamu juga tidak tahu kapan petunjuk datang kepada manusia [2].

Jika hati kita tidak dipersiapkan untuk menerima nasihat yang baik maka bagaimana pun penyampaiannya tidaklah akan dapat menembus kalbu seorang manusia. Hatinya masih kosong dan jauh dari keinginan untuk memperbaiki diri.

Jika kita ingin berubah maka kita sendiri yang harus berusaha untuk menjadi lebih baik, tentunya dengan disertai doa dan tekad yang kuat, karena syaitan yang ada di dalam diri sendiri tidak akan berhenti menarik-narik baju kita sampai kita tergoda.

Latihan untuk menjaga kerohanian kita agar tetap dalam ridha Allah Ta’ala adalah dengan cara mengucapkan istighfar. Istighfar, memohon ampunan Tuhan, menyeru sifat-Nya yang menutupi dan memaafkan dosa-dosa. Istighfar mempunyai dua segi. Satu, orang yang berdosa memohon ampunan Ilahi atas dosa-dosanya yang telah dia lakukan di masa yang lalu, atau berdoa untuk menghapuskan dosa-dosa yang dia menjadi korbannya.

Segi lainnya, orang yang bersangkutan berdoa kepada Tuhan agar kecenderungannya terhadap dosa ditekan (dihilangkan) seluruhnya, dan bahkan dosa sekecil apapun hendaknya tidak menyentuhnya melalui karunia-Nya. Dalam hal inilah para nabi memanjatkan istighfar kepada Tuhan [3].

Selain itu pergaulan dengan orang-orang saleh agar kita senantiasa terjaga karena lingkungan sangat berpengaruh kepada diri sendiri. Manusia dapat dinilai dari siapa yang ada di dekatnya atau teman bermainnya.

Pada akhirnya, nasihat bukan hanya tentang kata-kata yang didengar, tetapi tentang kesiapan hati untuk menerimanya. Kita tidak selalu berada dalam kondisi terbaik, namun dengan terus menjaga hubungan dengan Allah, memperbanyak istighfar, dan memilih lingkungan yang baik, hati perlahan akan menjadi lebih lembut dan siap menerima petunjuk.

Setiap langkah kecil menuju perubahan adalah bentuk ketaatan, dan Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya yang ingin memperbaiki diri dan kita akan memperoleh ketentraman seperti yang Allah firmankan: “Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau. Maka masuklah di antara hamba-hamba-Ku yang terpilih, dan masuklah ke dalam surga.” (Qs. Al-Fajr, 89:28–31) [4].

Referensi:
[1] Qs. Al-A‘la, 87:9–10.
[2] Tafseer Kabeer, Hz. Muslih Mau’ud ra.
[3] Minhajut Thaalibin (Way of the Seekers), Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra.
[4] Qs. Al-Fajr, 89:28–31.

Views: 65

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *