
JIHAD LEWAT PENA : SUARA KEMANUSIAAN YANG TAK BOLEH DIAM
Di tengah dunia yang penuh luka, ketidakadilan, dan kebisuan global, untuk saat ini berjihad lewat pena dapat menjadi sebuah ikhtiar yang mulia. Kita hidup di era di mana suara bisa ditekan, media dibungkam, dan kebenaran dimanipulasi. Namun jihad melalui pena atau tulisan tetap bisa menembus batas, menggugah hati, dan membela yang tak bersuara.
Jihad bukan semata-mata perang fisik. Dalam Islam, jihad bermakna segala bentuk kesungguhan dalam menegakkan kebenaran. Bisa dengan harta, tenaga, waktu, bahkan dengan kata-kata.
Jihad lewat pena adalah bentuk perjuangan intelektual dan moral. Ia tidak melukai, tapi menyadarkan. Ia tidak membunuh, tapi membangkitkan empati dan keberanian.
Mengapa melalui pena dan tulisan? Jawabannya sederhana, namun maknanya tidak sederhana. Karena dunia hari ini tidak hanya terluka oleh perang dan kekerasan fisik, tapi juga oleh ketidakpedulian. Ketika anak-anak lenyap di bawah puing-puing bangunan, ketika air mata tak terdengar, siapa yang akan menyuarakannya?
Maka dari itu, kita harus memulai langkah dengan menulis. Bukan karena kita hebat, tapi karena kita tak rela berdiam diri melihat kedzaliman semakin mewabah. Kita tulis kisah-kisah kemanusiaan agar dunia tahu dan hati kita tidak terlena dan tertidur. Kita tulis agar ada yang peduli, bergerak, dan juga membela.
Sejarah Islam kaya dengan jihad lewat tulisan. Seperti halnya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. yang memperkenalkan konsep “Jihad Pena” sebagai cara perjuangan islam melalui tulisan dan argumen, bukan dengan kekerasan fisik. Lalu ada tokoh ulama-ulama seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan banyak tokoh lainnya yang juga membela Islam dan membangun peradaban dengan karya-karya tulis. Bahkan wahyu yang pertama turun adalah:
“Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa pun yang tidak ia ketahui.” [1]
Tulisan memiliki kekuatan abadi. Gagasan tidak bisa dibunuh. Satu tulisan yang jujur bisa melintasi zaman, menggugah jiwa, dan melahirkan perubahan.
Di Palestina, Suriah, Sudan, Pakistan, Myanmar, dan tempat-tempat yang dilanda krisis, banyak suara kemanusiaan lahir dari tulisan. Bukan dari media besar, melainkan dari individu biasa yang menulis dengan hati. Artikel, puisi, opini, atau bahkan utas media sosial, semua punya peran dalam menyuarakan yang tak terdengar.
Satu tulisan bisa menjadi jembatan empati. Satu kisah bisa menggugah seseorang untuk berdonasi, turun ke jalan menyuarakan keadilan, atau menyebarkan kebaikan. Menulis adalah bentuk dakwah dan jihad kemanusiaan yang jangkauannya sangatlah luas.
Menulis adalah hak semua orang. Tak perlu menjadi pakar untuk bisa menulis, cukup dengan tulus dan jujur. Tulisan yang ditulis dengan niat baik akan menemukan jalannya sendiri. Bahkan jika hanya satu orang yang tersentuh, itu sudah cukup.
Hari ini, media sosial bisa menjadi ladang jihad. Alih-alih menjadi panggung pencitraan, ubahlah menjadi mimbar kebaikan. Sampaikan kebenaran, kisahkan kemanusiaan, dan ajak manusia menuju empati.
Ya, pasti akan ada cibiran. Akan ada tuduhan berlebihan. Tapi bukankah setiap perjuangan memang penuh rintangan?
Sabda Hadhrat Rasulullah saw.,
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pelakunya.” [2]
Setiap tulisan yang menyadarkan, setiap kata yang menyejukkan, akan menjadi amal jariyah. Pena yang kita gerakkan hari ini bisa menjadi saksi kita kelak di hadapan Allah SWT.
Jangan biarkan pena kita diam! Saat dunia bicara dengan peluru dan kekuasaan, mari kita bicara dengan pena dan hati nurani. Ketika banyak diam terhadap kezaliman, mari kita menulis. Ketika yang lemah dibungkam, mari kita bersuara. Karena bisa jadi, satu paragraf yang kita tulis hari ini, menyelamatkan satu jiwa di hari esok.
Referensi:
[1] Al-’Alaq 96: 5-6
[2] HR. Muslim, No. Hadist 1893
Views: 7