
Kecerdasan Hakiki untuk Berprestasi
Tentu saja, jika kalian memanfaatkan kekayaan yang diberikan Allah [kemampuan intelektual], kalian akan memperoleh banyak sekali prestasi sehingga kalian akan mulai merasa malu untuk meminta lebih kepada Allah SWT [1].
Allah SWT telah menganugerahkan akal dan pikiran kepada manusia. Sebagai hamba-Nya, kita wajib memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang Allah ridhai. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran, 3:7: Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”
Hazrat Masih Mau‘ud ‘alaihis salam bersabda: “Ilmu dan akal pun jika digunakan dengan cara yang buruk, maka akan menjadi syaithan.” Sebagian orang bangga dengan ilmu dan akal mereka; kebanggaan ini menjadikan mereka seperti syaithan, dan ilmu serta akal itu pun berubah menjadi syaithan. “Merupakan tugas seorang muttaqi untuk meluruskan kemampuan-kemampuan itu” [2]. Artinya, kemampuan-kemampuan yang diberikan Allah Ta‘ala harus diarahkan secara benar dan digunakan dengan adil. Bila demikian, itulah yang disebut takwa.
Kemudian beliau bersabda: “Hendaklah manusia menggunakan kekuatannya setiap waktu. Jika kekuatan yang diberikan kepada manusia ini ia gunakan maka sungguh ia dapat menjadi wali. Dengan sungguh-sungguh aku katakan bahwa di dalam umat ini muncul orang yang memiliki kekuatan besar, yang dipenuhi dengan nur kebenaran dan kesucian. Oleh karena itu, janganlah ada orang yang menganggap dirinya kehilangan kekuatan itu. Apakah Allah Ta‘ala telah menerbitkan suatu daftar, yang dari daftar itu bisa dianggap bahwa kita tidak akan mendapatkan berkat-berkat itu?” Yakni, tidak ada daftar semacam itu yang membatasi siapa yang bisa mendapatkan karunia Ilahi [3].
Kita harus memiliki keyakinan bahwa Allah SWT telah memberi kita kemampuan untuk berprestasi dan meraih cita-cita. Selanjutnya, beliau a.s. membicarakan tentang cara memperoleh firasat yang benar dan kecerdasan hakiki: “Firasat yang benar dan ilmu pengetahuan yang sebenarnya atau kecerdasan sejati tidak dapat diperoleh tanpa adanya ruju‘ (senantiasa kembali) kepada Allah Ta‘ala.” Itulah sebabnya dikatakan dalam sebuah hadits: “Ihdzaruu firaasatal mu’mini fa-innahu yanzhuru bi nuurillaah” — “Waspadalah terhadap firasat orang beriman karena ia melihat dengan cahaya dari Allah” [4].
Beliau menjelaskan bahwa firasat yang benar dan ilmu pengetahuan hakiki hanya dapat diraih melalui ketakwaan yang sempurna. Beliau a.s. juga bersabda: “Bila engkau ingin berhasil, pergunakanlah akalmu. Berpikirlah! Renungkanlah!” Dalam Al-Qur’anul Karim, berkali-kali perintah untuk berpikir dan merenung ditegaskan. Di satu sisi, kita melihat bagaimana orang yang salah menggunakan ilmu dan kecerdasannya justru hancur karenanya. Di sisi lain, Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal dan ilmu secara benar dan mendalam.
Inilah yang ditekankan oleh Hadhrat Masih Mau‘ud a.s., bahwa Al-Qur’an mengajarkan agar kita berpikir dan merenung. Pelajarilah kitaabim-maknuun dan Al-Qur’anul Karim — kitab Allah yang mendalam dan penuh makna tersembunyi. Ketahuilah makna yang dalam melalui terjemahan dan tafsirnya, serta jadilah orang yang bertakwa. Ketika ketakwaan telah mendasari semua upaya itu, maka dua hal akan bersatu dalam diri: akal yang bekerja dan hati yang tunduk kepada Allah. Maka dari hati akan keluar seruan: “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menjadikan ini sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka” (Ali ‘Imran, 3:192).
Ucapan ini keluar dari hati karena kesadaran yang dalam bahwa segala ciptaan Allah bukanlah sia-sia, melainkan menjadi bukti nyata keberadaan-Nya. Seluruh ilmu pengetahuan dan fann (sains, teknologi, dan keahlian) sejatinya berfungsi untuk membenarkan agama, yaitu Islam.
Studi terhadap Al-Qur’an merangsang imajinasi dan pemikiran. Akal manusia ditantang untuk menyelidiki dan menguji kebenaran ayat-ayatnya. Melalui perenungan mendalam, manusia mampu menemukan rahasia-rahasia alam dan memanfaatkannya demi kehidupan dunia yang lebih baik dan balasan akhirat yang lebih sempurna.
Hadhrat Masih Mau‘ud a.s. bersabda bahwa pengetahuan memiliki tiga tahap: pengetahuan melalui inferensi, pengetahuan melalui pengamatan, dan pengetahuan melalui pengalaman. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang melihat asap dari kejauhan dan menyimpulkan bahwa ada api, itu adalah pengetahuan melalui inferensi. Ketika ia melihat api secara langsung, itu adalah pengetahuan melalui pengamatan. Dan jika ia menyentuh api dan merasakan panasnya secara langsung, maka itu adalah pengetahuan melalui pengalaman [5].
Dari sudut pandang psikologi, pemahaman juga berkembang dalam beberapa tahapan: dimulai dari informasi dasar, lalu menjadi pemahaman, kemudian diterapkan menjadi keterampilan. Bila keterampilan itu dikuasai secara mendalam, seseorang menjadi ahli. Namun, belajar tidak pernah berhenti. Kesempurnaan hanya milik Allah.
Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu bahkan hingga ke negeri Cina. Demikian pula dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah, 9:122, orang-orang beriman diperintahkan untuk memperdalam ilmu agama.
Referensi:
[1] Al Fazl, 6 Oktober 1954, hlm. 4–5.
[2] Malfuzat, Jilid I, hlm. 21, Edisi 2003, Cetakan Rabwah.
[3] Khotbah Jumat, Vol. VII, No. 36, 29 Nubuwwah 1392 HS / November 2013.
[4] Hadits: Ihdzaruu firaasatal mu’mini…, sumber hadits ini terdapat dalam berbagai kitab hadits dengan derajat hasan.
[5] Malfuzat, Jilid 10, hlm. 402.
Views: 10