
Kehormatan bagi Orang yang Memberi Manfaat pada Manusia
Saat hari kematian telah ditetapkan untuk setiap orang yang datang di dunia ini. Bahkan, Allah Ta’ala menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini akan binasa. Namun, Allah Ta’ala memberikan kabar gembira bahwa setelah berakhirnya kehidupan dunia sementara ini, kehidupan kekal akan dimulai.
Mereka yang di dunia ini perbuatannya sesuai dengan keridhaan Allah Ta’ala, yaitu mereka yang dalam segala sesuatu memilih mengutamakan keridhaan Allah Ta’ala, akan menjadi pewaris nikmat-nikmat dalam kehidupan ukhrawi nan kekal. Mereka terus berupaya untuk membuat hidup mereka lebih berharga yakni berusaha untuk meraih tujuan yang telah Allah Ta’ala tetapkan bagi para hamba-Nya.
Sebuah perjalanan hidup dari pekhidmat agama yang patut kita jadikan teladan, yaitu Hafizh Jibrail Said Shahib, seorang Ahmadi yang dengan sepenuh upaya dan kemampuannya tetap aktif menyempurnakan misi Hadhrat Masih Mau’ud as. sampai saat terakhir dari kehidupannya.
Beliau lahir di tempat yang ribuan mil jauhnya dari Rabwah dan Qadian, di sebuah desa kecil di Ghana, sebuah negara besar di Afrika. Mungkin di sana pendidikan yang layak lagi mudah pun tidak tersedia. Namun, beliau telah diberikan taufik menghapal Al-Qur’an dengan sempurna. Dan bukan hanya itu saja, bahkan beliau juga menjadi salah satu dari mereka yang tafaqquh fid diin, yakni meraih pemahaman atas agama.
Dengan karunia Allah Ta’ala, beliau menyampaikan ajaran agung Al-Qur’an untuk bangsanya dan bagi bangsa yang lainnya. Beliau seorang mubaligh yang sangat gemar bertabligh. Sukses besar Hafizh Shahib dalam upaya tablighnya adalah dengan membuahkan hasil yang sangat banyak, sehingga jemaat baru banyak didirikan serta masjid pun banyak dibangun.
Berkata teman-teman mubalighin dan para da’i ilallah yang bersamanya di Ghana, “Kegemaran tabligh beliau sudah sampai batas junuun (lupa diri). Inilah pekerjaan beliau siang dan malam yaitu mengirim tim da’i ilallah dan beliau sendiri ada di belakang mereka dan tinggal beserta (menyertai) mereka.”
Beliau pernah mengatakan dalam sebuah wawancara dengan MTA (Muslim Television Ahmadiyya), “Kehidupan wakaf dan pengkhidmatan kepada jemaat ini telah mendarah daging dalam diri kami. Sudah ada dalam gen kami. Ayah saya adalah muballigh pertama di Gambia.”
Selanjutnya dalam hari-hari sakitnya, beliau juga menulis surat terakhir pada saya (Hudhur), “Saya telah masuk ke dalam ruang ICU (gawat darurat) rumah sakit. Di ruang ICU pada umumnya diisi oleh orang yang sudah tidak sadar. Saya dengan susah payah menulis surat ini dari ICU dengan air mata bercucuran. Hudhur, pekerjaan sangat banyak dan kekuatan saya benar-benar sudah tidak ada.”
Sampai akhir waktunya, beliau berada dalam pemikiran itu, hanya ini, yaitu bagaimana amanat tabligh Islam dan Ahmadiyah sampai ke pelosok-pelosok negeri.
Beliau berupaya supaya anak-anak beliau dapat semarak (berkilau) dalam hal pengetahuan agama dan dengan karunia Allah Ta’ala mereka memiliki hubungan yang kuat dengan jemaat. Semua anak-anaknya maju dalam pendidikan agama, demikian juga dalam pendidikan dunianya. Ketiga anaknya telah memperoleh gelar Master, yaitu M.Sc. Bahkan, satu anak perempuan sedang menjalani pendidikan Phd. Dengan karunia Allah Ta’ala, Yth. Hafizh Shahib dikaruniai keberuntungan menunaikan ibadah haji pada tahun 2007. [1]
Uraian cerita perjalanan hidup Hafidz Said tersebut sesuai dengan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as., “Orang yang merupakan pengkhidmat agama dan orang yang memberi manfaat kepada manusia, baginya terdapat kehormatan dan derajat di sisi Allah Ta’ala.”
Mereka yang senantiasa menjadikan tingginya agama Allah Ta’ala dan penyebarannya sebagai tujuan mereka, mereka yang standar ketinggian akhlaknya menjadi buah bibir (bahan pujian) orang-orang, untuk manusia seperti ini diberikan kabar gembira berupa surga. Mereka sudah memberikan hidup mereka demi keimanan dan mencapai status syahid.
Allah Ta’ala berfirman bahwa tidak diragukan lagi orang-orang ini sudah pergi dari dunia ini, sudah istirahat dari tempat yang fana ini, dan walaupun di mata dunia mereka sudah mati atau dimatikan (dibunuh), tetapi sesungguhnya mereka mencapai kehidupan yang kekal di hadirat Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah Ta’ala menyatakan bahwa orang tersebut janganlah disebut-sebut sebagai mati karena sesungguhnya mereka masih hidup. [2]
Kepergian orang tersebut juga memfasilitasi cara dan sarana kehidupan bagi mereka yang tinggalkan. Semoga kita dapat meneladani dan mengamalkan kisah pengkhidmat agama yang senantiasa istiqomah dalam menyebarkan kebaikan. Rasullullah saw. bersabda bahwa, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat untuk manusia lainya.” [3]
Karena sejatinya manusia hidup itu untuk menjadi manusia yang selalu berguna, bukan mengejar sempurna.
Referensi:
[1] https://ahmadiyah.id//khotbah//keteladanan-para-pengkhidmat-islam-ahmadiyah
[2] QS. Al-Baqarah 2: 155
[3] HR. Thabrani
Visits: 69