
Kisah Kejujuran dan Kebohongan: Dua Jalan, Dua Akhir yang Berbeda
Sebuah kisah yang sudah sering kita dengar: tentang seorang penggembala kambing dan serigala. Suatu hari, si penggembala berteriak-teriak memanggil warga desa, “Tolong! Tolong! Ada serigala!” Mendengar itu, warga desa segera berlarian ke arahnya. Namun ternyata, tidak ada serigala, ia hanya berbohong demi lelucon.
Keesokan harinya, ia kembali berteriak, “Tolong! Ada serigala!” Sekali lagi, warga desa datang bergegas, dan sekali lagi mereka dibohongi. Warga pun mulai kesal dan kecewa. Di hari ketiga, teriakan minta tolong kembali terdengar, kali ini lebih panik dan memilukan. Namun tak seorang pun datang menolong, sebab mereka mengira itu kebohongan lagi. Padahal, hari itu benar-benar ada sekelompok serigala yang menyerang kambing-kambing penggembala. Sayangnya, karena telah kehilangan kepercayaan masyarakat, tidak ada yang datang membantunya.
Kisah kedua datang dari pengalaman pribadi Hadhrat Masih Mau’ud as. Seorang pengacara Kristen bernama Ralya Ram pernah mengajukan tuntutan hukum terhadap beliau. Hadhrat Masih Mau’ud as. menulis sebuah karangan dan mengirimkan naskahnya ke percetakan, disertai sepucuk surat berisi petunjuk kepada manajer percetakan. Namun, berdasarkan aturan kantor pos, menyisipkan surat ke dalam paket merupakan pelanggaran hukum, dengan ancaman denda 500 rupee atau enam bulan penjara.
Hadhrat Masih Mau’ud as. tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Ketika Ralya Ram mengetahui isi paket, ia langsung melaporkannya ke kantor pos dan membawa kasus ini ke pengadilan. Menariknya, Hadhrat Masih Mau’ud as. sebelumnya telah bermimpi bahwa Ralya Ram mengirimkan seekor ular berbisa kepada beliau, namun beliau menggorengnya dan mengembalikannya kepadanya. sebuah isyarat bahwa upaya untuk mencelakainya akan berbalik.
Pengacara beliau menyarankan agar Hadhrat Masih Mau’ud as. mengaku bahwa bukan beliau yang menyisipkan surat, melainkan Ralya Ram. Namun beliau menolak dengan tegas. “Saya sendiri yang memasukkan surat itu, dan saya tidak akan menyangkalnya,” tegas beliau, meski tahu hal itu bisa membuatnya dihukum.
Pengacara tersebut berkata, “Kalau begitu, Anda tidak akan punya peluang untuk bebas dari tuntutan ini.” Beliau menjawab, “Biarlah terjadi apa pun, saya tidak akan berhenti berkata jujur.”. Di pengadilan, Hadhrat Masih Mau’ud as. menghadapi seorang hakim berkebangsaan Inggris.
Ketika ditanya, beliau mengakui bahwa beliaulah yang meletakkan surat dalam paket, dan ia tidak tahu bahwa hal tersebut melanggar aturan. Beliau juga menegaskan tidak ada niat untuk menipu. Allah Ta’ala pun membalikkan hati sang hakim. Meskipun pihak penuntut menyampaikan argumen panjang, sang hakim hanya menjawab, “No! No!” dan membebaskan beliau dengan penuh hormat.
Dua kisah, dua jalan yang bertolak belakang. Kisah pertama menggambarkan akibat dari kebohongan, meski hanya untuk iseng, dusta bisa menghancurkan kepercayaan dan membawa pada penyesalan. Ibarat pepatah, “senjata makan tuan.”
Sementara itu, kisah kedua menunjukkan bagaimana kejujuran, bahkan dalam kondisi genting, justru menghadirkan pertolongan Allah. Hadhrat Masih Mau’ud ‘as menjunjung tinggi kejujuran meski risikonya besar, dan justru karena itulah beliau memperoleh perlindungan dan keadilan dari Allah Ta’ala. Beliau as bersabda, “Bagaimana saya dapat menerima hal tersebut karena saya telah melalui tujuh kasus pengadilan dan tidak dalam satu kasus pun saya menggunakan kedustaan. Tetapi dengan karunia-Nya, satu kali pun saya tidak kalah. Bagaimana Allah Ta’ala dapat menghukum seorang benar!” [1]
Rasulullah saw. Bersabda: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak menjadikanmu ragu, karena jujur itu menenteramkan, sedangkan bohong itu dapat meenjadikanmu bimbang.” [2]
Tidak ada yang lebih merugikan daripada kedustaan. Para pelakunya hidup dalam kebimbangan, rasa takut, kekhawatiran, dan akhirnya kehancuran. Sementara mereka yang menjunjung kejujuran, berada dalam ketenangan dan perlindungan Allah Ta’ala.
Hadhrat Masih Mau’ud ‘as bersabda: “Hindarilah perbuatan menyembah berhala‑berhala dan bekata dusta (Al-Hajj, 22:31). Yakni, dusta pun merupakan sebuah berhala; orang yang bertumpu padanya berarti telah melepaskan tumpuan terhadap Allah. Jadi, dengan berkata dusta, Tuhan pun terlepas dari tangan.” [3]
Diriwayatkan pula bahwa seorang laki-laki datang kepada Hadhrat Rasulullah saw. dan mengadukan tiga dosa yang sering dilakukannya: minum khamar, berzina, dan berdusta. Ia merasa sulit meninggalkan semuanya sekaligus. Rasulullah saw. Bersabda, “Jauhilah dusta.”
Laki-laki itu pun memegang teguh pesan tersebut. Ketika hendak berbuat maksiat, ia selalu teringat bahwa jika ditanya Hadhrat Rasulullah saw. , ia harus jujur. Maka ia pun meninggalkan zina dan Ichamar, karena tidak ingin berdusta. Dengan menjauhi dusta, ia terhindar dari dua dosa lainnya.
Semua perbuatan manusia tercatat rapi di sisi Allah. Manusia bisa saja membobol sistem komputer, meretas data, bahkan menghapus jejak digital. Namun tidak ada seorang pun yang mampu menghapus satu pun catatan amal di sisi Allah. Tak seorang pun dapat menipu-Nya.
Karena itu, marilah kita terus berusaha untuk selalu jujur, menaati perintah Allah, dan meneladani Hadhrat Rasulullah saw. Dalam setiap langkah hidup. Semoga Allah membimbing kita dalam kejujuran, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapat keberkahan karena berkata benar.
Referensi:
[1] Ringkasan Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz tanggal 05 Februari 2016 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
[2] At-Tirmidzi, Imam. Jami’ at-Tirmidzi, Hadits No. 2518. Riyadh: Darussalam.
[3] Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin Hadhrat Khalifatul Masih V ayyadahulloohu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1] Hadhrat Mirza Masroor Ahmad tanggal 23 Aman 1391 HS/Maret 2012 di Masjid Baitul Futuh, London-UK
Visits: 82