
KUASA, AMANAH DAN KEADILAN
“Seribu kepintaran bisa dikalahkan, bahkan tak ada artinya, di hadapan segenggam kekuasaan,” tulis seorang pejabat.
Dari sisi realitas, dalam batas-batas tertentu, ungkapan tersebut tidaklah keliru. Namun, dari sisi hukum Islam, ungkapan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menomorsatukan kekuasaan. Kekuasaan memang bisa digunakan untuk menolong dan menyebarkan kebaikan, tetapi juga bisa mencelakakan pemegangnya jika digunakan untuk menyebarkan kerusakan secara masif dan efektif. Fir‘aun, misalnya, kekuasaannya yang besar mendorongnya menuhankan diri sendiri dan merusak kehidupan rakyatnya.
Jika seorang penguasa bersifat aniaya, maka janganlah kalian kesana-kemari membicarakan keburukannya. Sebaliknya, perbaikilah kondisi kalian sendiri. Adapun kesusahan yang timbul, itu adalah akibat dari perbuatan-perbuatan buruk sendiri. Jika tidak, sebenarnya seorang mukmin itu disertai oleh bintang Allah. Allah Ta‘ala sendiri yang menyediakan sarana-sarana bagi seorang mukmin. Nasihat saya adalah jadikanlah diri kalian sebagai suri teladan kebaikan dari segala segi. Janganlah kalian mengabaikan hak-hak Allah dan jangan pula mengabaikan hak-hak manusia [1].
Corak lain dalam meninggalkan kejahatan adalah akhlak yang disebut amanah atau diyanah. Yakni, tidak suka merugikan orang lain dengan cara licik dan jahat, misalnya dengan merampas harta orang lain. Hendaknya dipahami bahwa diyanah (kejujuran) dan amanah (dapat dipercaya) merupakan keadaan thabi‘i (alami). Di kalangan bangsa Arab zaman dahulu, terdapat kebiasaan di antara para pengurus harta anak-anak yatim: jika mereka hendak mengambil keuntungan dari harta anak yatim yang dikelola, mereka tetap menjaga agar modal pokok tidak berkurang. Dalam Al-Qur’an pun diisyaratkan ke arah ini, yakni agar pengurus harta menyerahkan kembali harta anak yatim di hadapan saksi-saksi.
Dan barang siapa hampir meninggal dunia sedangkan anak-anaknya masih kecil dan lemah, maka hendaknya ia tidak membuat wasiat yang merugikan hak-hak anak-anaknya. Barang siapa memakan harta anak-anak yatim hingga menganiaya mereka, maka yang ia makan bukanlah harta, melainkan api. Dan pada akhirnya mereka akan dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala.
Perhatikanlah bagaimana Allah Ta‘ala menjelaskan secara sangat serius tentang aspek-aspek amanah. Maka, diyanah (kejujuran) dan amanah (dapat dipercaya) yang sejati adalah yang mencakup semua aspek tersebut. Apabila amanah tidak dilandasi bimbingan akal yang penuh, maka kejujuran dan amanah yang tampak itu sebenarnya mengandung unsur-unsur khianat yang terselubung melalui berbagai cara.
Allah Ta‘ala berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’, 4:59: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” Dalam tafsir ayat ini dijelaskan bahwa kekuasaan atau wewenang memerintah dipandang sebagai amanah dari rakyat. Artinya, kekuasaan bukanlah hak waris atau hak lahiriah seseorang atau suatu dinasti. Al-Qur’an tidak menyetujui pemerintahan yang turun-temurun, dan sebagai gantinya diperintahkan untuk mengadakan pemerintahan perwakilan. Kepala pemerintahan harus dipilih, dan dalam pemilihan itu rakyat diperintahkan untuk memilih orang yang paling layak untuk mengemban jabatan tersebut.
Serahkanlah amanat kepada orang yang berhak menerimanya. Allah tidak bersahabat dengan orang-orang yang berkhianat. Ketika menakar, takarlah dengan sempurna. Ketika menimbang, timbanglah dengan benar dan jujur. Janganlah kalian merugikan orang lain dalam hal harta dengan cara apa pun. Jangan pula berkeliaran di muka bumi dengan niat membuat kerusakan—baik itu mencuri, merampok, mencopet, atau mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak sah.
Melalui surah An-Nisa’ ayat 59, Allah SWT menekankan pentingnya menegakkan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan. Jika seseorang diberi amanat untuk menetapkan hukum atau memutuskan perkara, maka ia harus berlaku adil dan tidak berpihak. Oleh karena itu, baik amanah maupun keadilan harus ditegakkan dan dijaga tanpa membedakan agama, keturunan, atau ras.
Referensi:
[1] Malfuzat, Add Nazir Isyaat, London, 1984, Jilid 2, hlm. 289 / MI 21.12.99.
[2] Al-Qur’an. Surah An-Nisa’, 4:59.
Views: 49