
Larut pada Daya Pikat Dunia, Tak Menemukan Bahagia
Ata-ul Jalal Nooruddin hidup di jalanan. Alkohol dan obat-obatan terlarang selalu menjadi ‘teman’ baginya. Sepuluh tahun lamanya, ia tak lepas dari keduanya, atau salah satunya secara bergantian. Hingga akhirnya hidupnya pun menggiringnya masuk sel di kantor polisi.
Kebebasan yang terenggut, kenikmatan dunia yang tak menjanjikan ketenangan dan kenyamanan sejati, membuatnya merenung. Ia menginginkan hatinya penuh, ia menginginkan hidup yang lebih baik. Kemudian ia mengingat Tuhan. Dan ia pun meminta, berdoa.
Tak banyak yang ia minta. Ia tidak meminta Tuhan membebaskannya dari sel, ia tidak meminta Tuhan mengembalikan kenikmatan dunia yang selama ini menjadi candu baginya. Ia hanya meminta Tuhan membimbingnya ke jalan yang benar dan mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Tiga hari kemudian, ia menikmati kebebasan. Ia pun mencari bimbingan Tuhan di agama yang selama ini ia anut. Tapi hatinya tak bisa merasakan kepuasan. Ada begitu banyak pertanyaannya yang tak terjawab, logika yang tak sesuai, semakin dia banyak bertanya para pemuka agamanya semakin marah. Hingga akhirnya dia menemukan Islam melalui Jemaat Ahmadiyah. Maka dia pun berbaiat pada tahun 1969.
Setelah baiat, godaan dunia masih punya kekuatan melumpuhkan ketahanan diri Jalal. Walau ia tak terlibat lagi dengan candu alkohol dan obat-obatan terlarang, sepuluh tahun ia menjauh. Dan selama 10 tahun itu Allah Ta’ala tak pernah menyerah padanya. Ia tersadar, dan kembali memperbarui janji baiatnya pada tahun 1979.
Jalal memperbarui ikatannya, hubungannya dengan Allah Ta’ala. Ia sadar ikatannya dengan-Nya memiliki kekuatan yang tiada tandingannya. Begitu kuatnya sehingga sejak janji baiatnya, tak pernah sekalipun ia tergoda mencoba alkohol dan obat-obatan terlarang seperti dulu. Hatinya penuh, nyaman, tenang, hanya dengan membangun ikatan dengan Allah Ta’ala.
Kisah Jalal hanyalah satu dari sekian kisah yang menjadi bukti firman Allah dalam QS. Fathir 35: 6, “Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar.” Karena janji-Nya selalu benar, maka menjadikan dunia sebagai andalan dan tujuan hanya akan mendatangkan kekecewaan. Kenikmatan dunia, bagaimanapun indah ditampakkan Allah Ta’ala, ia tidak abadi. Seindah-indahnya, senikmat-nikmatnya, ia akan hilang juga.
Sebagaimana digambarkan dalam QS. al-Hadid 57: 21, Allah Ta’ala berfirman:
“Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, pengisi waktu, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu dan bersaing dalam banyaknya harta dan anak. Kehidupan ini seperti hujan, tanaman-tanamannya mengagumkan para penanamnya, kemudian tanaman itu mengering dan engkau melihatnya menjadi kuning lalu menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang sangat keras, ampunan dan keridhaan dari Allah. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara yang menipu.”
Hazrat al-Masih Al-Mau’ud Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengatakan, “Aku katakan dengan sebenarnya kepada kalian, kebahagiaan sejati dan ketentraman hakiki sama sekali tidak ada pada dunia maupun pada benda-benda dunia! Kenyataannya adalah, jika menyaksikan seluruh bagian dunia sekalipun manusia tidak akan dapat meraih kebahagiaan sejati dan abadi.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 154-155)
Kenikmatan dunia tak bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan hakiki. Sebanyak-banyaknya harta yang dimiliki, bagaimanapun indahnya janji yang diberikan kenikmatan dunia, hati tetap akan merasa kosong dan hampa bila jauh dari Tuhan. Jalal menjadi salah satu manusia yang sudah merasakannya sendiri.
Itulah mengapa Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Fatir 35: 6, “Maka jangan sekali-kali membiarkan kehidupan dunia ini memperdayakan kamu.” Karena dunia tidak abadi dan dunia tidak mampu memberikan kita kebahagiaan dan ketenangan yang sejati. Hanya kekuatan ikatan dengan Tuhan, yang kita panggil Allah Ta’ala sajalah yang seharusnya menjadi tujuan.
Visits: 240