Mampukah Kita Bersabar dan Bersyukur?

Hingga hari ini, sulit rasanya untuk tidak merasa kagum pada kisah-kisah sahabat Rasulullah (saw). Tingkat akhlak para sahabat Rasulullah (saw) begitu tinggi sehingga Allah Ta’ala dalam al-Qur’an menjulukinya sebagai umat terbaik. Hal ini karena mereka hidup sezaman dengan Rasul Allah, Utusan Terbaik dari segala zaman. 

Tidak saja mereka melihat contoh langsung akhlak sempurna Rasulullah (saw), tetapi juga merasakan langsung pancaran cahaya keberkatan dan kebenaran Rasulullah (saw) yang menjadikan mereka mendapat karunia ingin memperbaiki diri. Kualitas akhlak mereka begitu tingginya, sehingga terkadang memunculkan pikiran terlalu sulit untuk bisa diikuti.

Dalam hal rasa syukur, sebuah kisah dari Hadhrat Abu Usaid Sa’di menjadi sebuah contoh yang begitu luhur. Hadhrat Sulaiman Bin Yasar (meriwayatkan sebelum syahidnya (terbunuhnya) Hadhrat Khalifah Utsman), penglihatan Hadhrat Abu Usaid Sa’di rusak sehingga tidak dapat melihat lagi. 

Atas hal itu, beliau selalu mengatakan, “Saya bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan saya penglihatan pada masa Rasulullah (saw) sehingga saya dapat melihat seluruh keberkatan itu dan ketika Allah Ta’ala ingin memasukkan orang-orang ke dalam ujian, Dia mengambil penglihatan saya yang membuat saya tidak dapat melihat lagi sehingga saya tidak dapat melihat fitnah (keadaan yang buruk) ini.” [1]

Hadhrat Abu Usaid Sa’di tetap merasa bersyukur ketika Allah mengambil penglihatannya karena dengan itu beliau tidak perlu melihat berbagai fitnah yang bertebaran selepas syahidnya Hadhrat Usman bin Affan r.a. Di balik musibah yang begitu besar dampaknya dalam hidup beliau, beliau masih bersyukur dan memandangnya sebagai sebuah karunia Allah Ta’ala.

Dalam hal kesabaran, Kabsyah binti Rafi, atau dikenal dengan Ummu Sa’ad bin Mu’adz menunjukkan tingkat kesabaran yang begitu tinggi. Saat Perang Uhud, ketika tersiar kabar kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw), beliau bersama perempuan-perempuan Muslim lainnya keluar untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Kabsyah mendengar putranya Amr bin Mu’adz syahid dalam perang, tetapi Kabsyah mencari Rasulullah (saw) terlebih dulu untuk memastikan keselamatannya.

Ketika beliau melihat Rasulullah (saw) selamat, beliau pun mengucapkan tahmid memuji Allah SWT, dan berkata. ” Setelah melihatmu selamat, maka musibah apapun yang aku terima terasa ringan.” Mendengar ucapan Kabsyah binti Rafi Rasulullah SAW mengucapkan belasungkawa atas gugurnya Amr bin Muadz.

Kabsyah lalu meminta Rasulullah (saw) mendoakan mereka yang telah syahid. Kemudian Rasulullah SAW mendoakan keluarga orang-orang yang gugur di medan Uhud, lalu bersabda, “Hai Ummu Sa’ad, berbahagialah dan sampaikan kabar gembira kepada keluarga mereka. Bahwa semua orang yang gugur itu sedang masuk surga secara beriring-iringan. Dan keluarga yang ditinggalkan akan mendapat syafaat.”

Kabsyah tidak saja bersabar atas syahidnya sang putra dalam perang, beliau ikhlas. Bahkan beliau masih merasa bersyukur karena Rasulullah (saw) pulang dari Perang Uhud dengan selamat. Sebuah keluhuran akhlak yang luar biasa dari umat Muslim terbaik di zaman Rasulullah (saw).

Hal ini sangat sesuai dengan apa yang disampaikan hadits berikut ini, “Sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin, sebab segala keadaannya untuk ia sangat baik dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesusahan ia bersabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)

Rasa syukur mampu menghadirkan kebahagiaan dalam hidup. Hati menjadi lapang karena tidak disesaki dengan keluhan dan pikiran pun hanya fokus pada hal-hal baik yang selalu mengiringi sebuah ujian. Dan ketika kita bisa fokus pada hal-hal baik maka mata, pikiran, dan hati kita hanya akan melihat hal-hal baik meskipun yang kita hadapi adalah kondisi terburuk. Dan ketika mata, pikiran, dan hati kita fokus pada hal-hal baik, maka sikap yang tercermin dalam diri kita pun akan baik pula.

Mengenai sabar, ia juga sebuah amalan yang apabila dikerjakan, manusia mampu terlepas dari kekhawatiran dan ketakutan. Hazrat Mirza Masroor Ahmad a.b.a menyampaikan, “Sabar bukan hanya berarti menahan kezaliman dan bukan bersikap diam lalu tetap duduk-duduk saja, melainkan dengan tetap mengamalkan kebaikan dan menyatakan hal-hal yang benar tanpa rasa takut dan tanpa khawatir dengan resiko, ini disebut sabar juga.”[2]

Ketinggian akhlak para sahabat, khususnya berkaitan dengan syukur dan sabar ini mungkin tampak begitu sulit untuk bisa tertanam dalam manusia hari ini. Itulah mengapa Allah Ta’ala senantiasa menurunkan utusan-utusan-Nya untuk menjadi contoh bagi umat-Nya bahwa manusia biasa pun bisa memiliki akhlak seluhur itu. Dan cahaya keberkatan dari utusan-utusan-Nya yang terpilih selalu punya kekuatan untuk memancarkannya hingga mampu mengubah bahkan meninggikan kemampuan manusia memperbaiki akhlaknya. 

Terbukti, dari sebuah umat jahiliyah, masyarakat Arab di zaman Rasulullah (saw) mampu melahirkan manusia-manusia beradab dengan kualitas akhlak yang begitu tinggi. Dan dengan karunia Allah Ta’ala, insyaallah kita sebagai manusia hari ini, akan dimampukan-Nya mencapai keluhuran akhlak. Paling tidak, lebih baik dari hari ke hari. Aamiin. 

 

Referensi:

[1] Al-Mustadrak ‘alash shahihain, Kitab Ma’rifatush Shahabah. Al-Mustadrak ‘alash shahihain,(Kitab Ma’rifatush Shahabah,(jilid 3, h. 591, hadits 6189, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002.

[2] Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahulloohu Ta’ala binashrihil ‘aziiz 54 tanggal 10 Fatah 1389 HS/Desember 2010 di Mesjid Baitul Futuh, London.

Visits: 470

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *