
MELEPAS SAHABAT
Masih terlihat jelas di bayanganku ketika dulu aku dan sahabatku harus lembur menyusuri huruf demi huruf, angka demi angka agar tidak ada kesalahan dalam film yang akan dikirim ke semua surat kabar nasional keesokan paginya. Beruntung, Rahayu menjadi penanggung jawab di bagian produksi, sehingga aku tidak sendiri jika ada pekerjaan mengejar deadline.
Rahayu yang selalu menyemangatiku, Rahayu yang penuh perhatian. Kini ia sedang berjuang melawan penyakitnya, semoga Allah Ta’ala memberikan ia kesabaran dalam menjalani proses ini.
Setiap dua hari sekali aku datang untuk menjenguknya. Dan setiap aku berpamitan, Rahayu selalu minta untuk berdoa bersama. Katanya agar ia bisa tidur. Dan setiap kali kami selesai berdoa, ia selalu tertidur.
Hari itu, beberapa jam sebelum kepergiannya, aku masih datang untuk menjenguknya. Sama sekali tidak terbayang bahwa itu adalah pertemuan terakhirku dengan Rahayu.
Saat itu aku datang selepas Maghrib. Aku datang ditemani ART yang membantuku di rumah. Sesampainya aku di sana, aku disambut oleh suami Rahayu. Dengan wajah yang tampak sangat letih, suami Rahayu bercerita bahwa beberapa jam setelah kepulanganku kemarin, Rahayu terbangun dan sampai saat itu Rahayu sama sekali belum tidur lagi.
Rahayu sudah tidak mau makan, tidak mau bicara sama sekali. Bahkan diajak bicara oleh ayah dan ibunya pun Rahayu tetap membisu. Rahayu hanya minta untuk keluar menggunakan kursi roda dan membawa tabung oksigen untuk mengelilingi kompleks rumahnya setiap 30 menit sekali.
“Mawar, mumpung ada kamu di sini, boleh ya saya pamit mau tidur dulu 30 menit saja. Sudah 2 hari saya belum tidur.” Begitu pamit suami Rahayu.
Akupun berjalan masuk mengikutinya. Kuhampiri Rahayu yang terbaring di tempat tidur di ruang tamu mereka. Begitu melihatku, Rahayu langsung menggenggam tanganku sambil minta dipeluk.
Beberapa detik kemudian dia berteriak, “Mawaar! Aku mau keluar, aku mau keluar! Tolong, Mawar! Aku mau keluar!” Ya, Allah. Suaminya baru saja bercerita Rahayu sudah keluar setiap 30 menit. Dan suaminya sudah kelelahan. Entah mengapa batinku berbicara pada suami Rahayu, “Mas, tolong, Mas! Kita ikuti saja kemauannya ya, Mas.”
Selesai batinku mengucap, suami Rahayu keluar dari kamar dan menyiapkan kursi roda. Setelah Rahayu duduk di kursi roda, aku berkata pada suami Rahayu, “Mas, biar saya yang dorong Rahayu dan tabung oksigennya biar dibantu oleh Mbak.” Tiba-tiba Rahayu berteriak, “Jalan ke sana!” sambil menunjuk ke depan.
Kudorong kursi roda perlahan sambil memperhatikan Rahayu. Ia nampak seperti berpamitan menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah kembali ke rumah dan berdoa, aku berpamitan pada ayah, ibu dan suami Rahayu. Sebelum melangkahkan kaki keluar, aku berpesan pada ketiganya untuk selalu berada di samping Rahayu.
Ketika sampai di rumah sehabis sholat Isya, sambil melipat mukena batinku berucap, “Selamat jalan sahabatku.” Selamat jalan? Apa sih? Kenapa selamat jalan? Pikirku.
Dalam posisi sudah di tempat tidur dan berselimut, aku teringat ponselku ada di meja di dekat pintu kamar dan masih dalam keadaan menyala. Lalu aku terlelap.
Jam 4 pagi ponselku berdering. Aku sadar dan sudah terbangun tapi mataku tidak bisa dibuka. Tubuhku terasa amat lelah. Suamiku yang terbangun dan menjawab telepon itu, dan ternyata suami Rahayu yang menelpon untuk mengabarkan kepergian Rahayu.
Pukul 8 pagi, aku dan suamiku tiba di rumah Rahayu. Begitu kuhampiri, suami Rahayu menjabat tanganku sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ayah dan ibu Rahayu pun mengucapkan hal yang sama. Rahayu pergi dengan tenang didampingi dan diiringi doa ayah, ibu dan suaminya.
Pada akhirnya, kematian hanya mengingatkan bahwa hidup hanyalah fana. Tidak ada yang abadi. Yang abadi adalah Allah Ta’ala. Yang pasti adalah kematian. Siap tidak siap, kita harus selalu bersiap diri. Sudah cukupkah perbekalan kita? Sudahkah kita menggunakan sisa waktu yang masih diberikan Allah Ta’ala dengan sebaik-baiknya?
Semoga kita senantiasa ingat untuk memenuhi hidup kita dengan kebaikan-kebaikan.
Visits: 80