
Melepaskan Belenggu Hawa Nafsu
Saat membicarakan akibat dari hawa nafsu yang tidak terkendali, orang akan dengan fasih menceritakan kisah pertikaian Habil dan Qabil, kisah kesombongan Fir’aun, juga kisah kaum Sodom pada zaman nabi Luth. Namun apakah kita sendiri sudah dapat mengendalikan hawa nafsu?
Sebuah survei telah diadakan, orang-orang ditanya mengenai apa yang mereka ketahui tentang hawa nafsu. Kebanyakan memberikan jawaban bahwa hawa nafsu identik rasa marah, nafsu makan dan nafsu syahwat. Dan semua setuju dengan ungkapan perang yang paling besar adalah perang melawan hawa nafsu.
Allah menciptakan hawa nafsu sebagai penolong sekaligus ujian. Manusia tidak dapat hidup tanpa hawa nafsu. Mereka tidak akan bertahan jika tidak ada keinginan untuk makan, mencari harta dan keinginan lainnya. Namun kita juga harus kuat mengendalikan hawa nafsu yang cenderung mengajak pada kesesatan.
Berkaitan dengan hawa nafsu ini, manusia dibedakan dalam tiga keadaan:
1. Nafs Ammarah, yakni keadaan manusia yang selalu melangkah ke arah pelanggaran. Ia tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
2. Nafs Lawammah, di dalam diri manusia mulai terhimpun akhlak fadhilah (budi pekerti luhur) dan dia juga sudah jera dari kedurhakaan, akan tetapi manusia dalam keadaan ini belum dapat menguasai diri sepenuhnya.
3. Nafs Muthmainnah, martabat dimana manusia memperoleh najat (keselamatan/kebebasan) dari segala kelemahan, lalu dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan rohaniah dan sedemikian rupa melekat jadi satu dengan Allah Ta’ala sehingga ia tidak dapat hidup tanpa Dia.
Selama hidupnya manusia akan terus menghadapi hawa nafsunya. Setiap manusia tidak akan bebas dari kelemahan, ia harus senantiasa meminta pertolongan Allah agar tetap berada di jalan yang diridhoi-Nya.
Seperti dikatakan dalam surat Yusuf ayat 54, “Dan aku tidak menganggap diriku bebas dari kelemahan, sesungguhnya nafsu itu senantiasa menyuruh kepada keburukan, kecuali orang yang dikasihi oleh Tuhan-ku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Hawa nafsu tidak hanya meliputi nafsu makan, syahwat dan amarah. Banyak kegiatan manusia yang cenderung melibatkan hawa nafsu yang mengajak kepada kesesatan. Seperti pedagang yang bernafsu mendapatkan keuntungan yang besar hingga mengakali timbangannya, orang yang bernafsu menumpuk kekayaan hingga setan membisikinya untuk melakukan judi, juga orang yang haus pujian hingga bersikap sombong dengan kelebihan harta yang dimilikinya. Bahkan ibadah pun bisa disisipi hawa nafsu, tatkala orang hanya menginginkan orang lain memuji ibadahnya sehingga ia bersikap riya.
Contoh lainnya dalam kehidupan sehari-hari yaitu nafsu manusia yang ingin merasa lebih dari manusia lainnya. Ia ingin menjadi orang yang lebih sempurna dalam penampilan fisiknya. Hingga ia tidak sadar melakukan ‘Body Shaming’, yakni menghina fisik orang lain yang berkulit hitam, bertubuh pendek dan juga bertubuh gemuk. Orang seperti itu hanya bisa merendahkan fisik orang lain tanpa menyadari dalam dirinya telah tumbuh sesuatu yang buruk yang telah menjadi gemuk.
Hadhrat Masih Mau’ud as. telah menyampaikan, “Lepaskanlah segala sesuatu yang bakal menggemukkan hawa nafsu, sebab pintu itu, yang melalui pintu itu kamu diperkenankan masuk, tak dapat dilalui oleh orang yang gemuk hawa nafsunya.”
Hendaklah kita berupaya keras mengalahkan hawa nafsu yang membuat kita melakukan hal yang dilarang Allah. Bersikaplah rendah hati dan penuh kelembutan. Dan tatkala kita merasakan hawa nafsu yang tidak terkendali maka berpuasalah. Puasa akan menolong kita untuk lebih bijaksana dalam bertindak. Juga jangan pernah lepaskan lidah dan hati kita dari menyebut nama Allah, niscaya Allah akan menjaga setiap langkah kita agar tidak tergelincir.
“Allah Ta’ala memperhatikan sudut-sudut kalbu manusia dari langit. Dan jika pada salah satu sudut terdapat suatu bahagian kegelapan atau syirik dan bid’ah jenis apapun, maka doa-doa dan ibadah-ibadahnya berbalik dilibaskan ke mulut orang itu. Dan jika Allah menyaksikan hati [orang] itu suci bersih dari segala macam kehendak nafsu dan kegelapan, maka untuknya Dia bukakan pintu rahmat. Dan orang itu Dia bawa ke dalam naungan-Nya lalu Dia sendiri yang menjadi pemeliharanya.” (Malfuzat 27, hal 142)
Views: 499