
Memetik Buah Manis dari Sedekah
Di dalam agama mana pun, sedekah selalu dianjurkan, terlebih dalam Islam. Sedekah dipercaya mampu menghapus dosa-dosa kita yang telah lalu. Lebih dari itu, hanya dengan bersedekahlah sifat tamak dalam diri lambat laun terkikis.
Ketika saya kecil, saya selalu melihat ibu saya mengambil segenggam beras yang hendak ia masak untuk disisihkan ke dalam sebuah toples yang bertuliskan ‘Perelek’. Ibu mengatakan bahwa dengan cara itu ia akan tenang karena beras yang akan keluarganya makan sudah ia sisihkan sebagian untuk orang lain.
Sebetulnya, perelek tidak hanya berupa beras. Namun, Ibu bilang bahwa untuk menyiasati mereka yang tidak memiliki dana lebih untuk disisihkan, beras menjadi pilihan yang tepat karena hanya perlu segenggam saja dari total beras yang akan kita masak saat itu.
Sambil menutup dan meletakkan kembali toples, Ibu berkata, “Sebaiknya, makanan atau harta yang kita dapat, kita sisihkan sebagian untuk orang lain. Kalau di kita (Jemaat) kan sudah ada pengorbanan rutin tiap bulan, itu sudah lengkap karena ada kolom untuk sedekah juga.”
Sejalan dengan itu, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. juga menyampaikan, “Apa pun yang diberikan oleh pemberi sedekah sebenarnya adalah hak fakir miskin yang karena satu dan lain sebab berada di tangan pemberi.”
Sejatinya segala yang kita miliki adalah titipan Ilahi. Untuk menghilangkan sifat tamak dan rasa memiliki titipan itu adalah dengan bersedekah. Kita akan menyadari bahwa untuk mensyukuri nikmat itu ialah dengan membaginya dengan orang lain, terlebih dengan orang-orang yang tidak merasakan nikmat tersebut.
Namun, jika ditelaah lebih jauh disamping mengikis rasa kepemilikan atas rezeki-Nya, sedekah menarik banyak sekali manfaat. Mungkin tak jarang kita dengar pernyataan bahwa sedekah membuka pintu rezeki, menghindarkan kita dari penyakit, dan lain sebagainya. Namun, apakah benar ada kaitannya? Bagaimana sedekah mampu menghalau diri kita dari hal-hal buruk? Dan, apakah sedekah hanya bisa dilakukan oleh mereka yang hidup berkecukupan?
Suatu hari di dalam angkot, saya tidak sengaja mendengar percakapan seorang ibu paruh baya dengan sang sopir. Entah obrolan apa yang sebelumnya mereka perbincangkan, karena begitu saya menaiki angkot, ibu itu nampak melanjutkan kalimat sebelumnya, “Ya begitu, Pak. Saya gak nyangka aja, malemnya saya gak bisa tidur karena mikirin besok pagi makan apa. Tapi paginya tiba-tiba ada seseorang yang kasih saya nasi lengkap sama lauknya yang cukup untuk sampai makan sore. Dia bilang, itu ucapan terima kasih dia karena saya sering kasih makan ayam-ayamnya.”
Terlihat ibu menyeka matanya dengan ujung kerudungnya, “Saya sedih, Pak, kalau ingat itu. Padahal saya kasih makanan sisa dan ngasihnya pun sama ayam. Tapi Allah balas sama makanan enak,” sambungnya lirih.
Ketika saya masih duduk di bangku SMP, saya diundang teman untuk makan di rumahnya. Mungkin lebih tepatnya disebut istana dibanding rumah tinggal. Karena di dalamnya tidak hanya terdapat keluarga inti saja, namun lengkap dengan tukang kebun, pembantu, serta pengasuh.
Begitu memasuki rumahnya, saya langsung diarahkan ke ruang makan. Di sana nampak sebuah meja makan ukuran besar dipenuhi makanan di piring yang ditata rapi, “Neng, maaf ya ini bukan berlebihan, tapi karena memang di sini banyak orang jadi kalau masak gak bisa sedikit,” sambut sang ibu.
“Kalau masaknya dikurangin, suka nggak kebagian yang lain. Dulu itu, ibu sempat sakit stroke karena kelebihan kolesterol, jadi dulu kalau ada sisa lauk, ibu selalu angetin terus dan paksain makan karena sayang mubadzir, tapi kalau dikurangin pasti deh selalu ada yang nggak kebagian,” jelasnya panjang lebar.
“Kalau sekarang alhamdulillah, Neng. Semenjak kerja sama Ibu, keluarga saya makan enak terus. Setiap masak begini, Ibu selalu bungkus nasi dan lauknya buat keluarga kami (yang kerja di sini) di rumah. Ini karena ibunya sedekah terus jadi Ibu sekarang selalu sehat. Padahal dulu dokter bilang kalau strokenya kayaknya susah sembuh,” imbuh Mang Ade tukang kebunnya.
Senyum sang ibu begitu teduh, tangannya pun tak pernah berhenti menyodorkan berbagai lauk pada tukang kebun, pembantu, dan pengasuh anaknya. “Kata Mang Ade, saya sedekah terus, padahal mereka yang banyak sedekah sama saya. Saya cuma kasih mereka nasi sama lauk, itu pun sisa makan kita tapi mereka baik banget sama keluarga saya, setia sampai belasan tahun rawat kami di sini,” ucap sang ibu haru.
Manfaat sedekah selalu berkesinambungan, bahkan dari kisah di atas, keduanya saling berkaitan. Imbalan yang Allah beri tidak selalu serupa dengan apa yang kita sedekahkan, namun ganjarannya merupakan hal-hal yang saat itu kita perlukan.
Semoga dengan kisah di atas, tidak ada lagi rem untuk menghentikan jalan sedekah kita. Karena tidak ada kesia-siaan dalam bersedekah, bahkan memberi makan hewan pun Allah balas dengan nikmat rezeki yang berlimpah. Mashaa Allah.
Views: 58
Tulisan berisi kisah nyata yang bukan hanya sekedar kisah, tapi contoh nyata dari berbagai sisi kehidupan yang membuktikan bahwa Allah SWT membalas berkali-kali lipat dari apa yang kita berikan, meskipun kita mengganggap pemberian itu tak berarti. Namun keihklasan hati sang pemberi lah yang mampu menarik limpahan karunia Allah.
Bisa dibayangkan bagaimana ganjaran yang akan Allah SWT berikan, jika kita benar-benar bersedekah dengan sesuatu yang paling kita cintai (QS. 3: 93)?