
MENATA HATI : ANTARA PRASANGKA DAN KESABARAN
Dalam perjalanan hidup, kita kerap menemui kejadian-kejadian kecil yang mengetuk perasaan kita. Bukan karena kejadiannya besar, melainkan karena hati kita. Yang kadang terlalu lelah, terlalu peka, atau bahkan terlalu cepat merasa.
Suatu hari, aku mengalami hal sederhana: sebuah peristiwa kecil di tempat umum, yang pada akhirnya menuntunku pada refleksi diri yang dalam. Ada seseorang yang tanpa sengaja melewati hakku—melewati antrian, mengambil barang belanjaanku, tanpa kata maaf. Sekilas, hati ingin berontak. Tapi kemudian aku berhenti.
Mungkin ini adalah pelajaran. Tentang bagaimana bersabar di hadapan ketidakadilan kecil, tentang bagaimana menjaga prasangka baik di tengah rasa jengkel yang manusiawi.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,
“Dan hendaklah kamu memaafkan dan melupakan. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [1]
Aku teringat, betapa mudahnya manusia merasa tersakiti, bahkan oleh hal-hal yang bukan sengaja diarahkan padanya. Dan betapa besarnya kerugian ketika kita membiarkan prasangka buruk tumbuh di hati, tanpa tabayyun, tanpa keinginan memahami.
Hadhrat Rasulullah SAW bersabda,
“Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” [2]
Setiap hati membawa dunia kecil di dalamnya. Ada luka, ada kenangan, ada rasa lelah. Namun bukan berarti dunia luar harus selalu kita tafsirkan melalui luka itu.
Hadhrat Masih Mau’ud as pernah bersabda,
“Janganlah engkau mengambil setiap gerak-gerik saudaramu sebagai kesalahan, karena kadang apa yang tampak buruk, sejatinya tidak disengaja.” [3]
Maka hari itu, aku memilih untuk memeluk keheningan. Memeluk kenyataan bahwa tidak semua hal perlu direspon dengan ketersinggungan. Terkadang, membiarkan sebuah peristiwa berlalu, tanpa mengikatnya pada hati, adalah jalan terbaik untuk menjaga kedamaian jiwa. Karena dunia ini tidak berputar mengelilingi rasa kita seorang. Dan tidak setiap kata, setiap peristiwa, adalah tentang kita.
Ada saatnya kita perlu berdiri di sudut, tersenyum, dan berkata dalam hati, “Mungkin ini bukan tentangku. Dan itu tidak apa-apa.”
Allah Ta’ala mengajarkan kita,
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu” [4]
Menata hati artinya mengizinkan dunia bergerak tanpa harus mengusik ketenangan kita. Menata hati artinya mendengarkan dengan niat memahami, bukan dengan prasangka. Semoga Allah membimbing kita semua untuk memiliki hati yang luas, jiwa yang teduh, dan pikiran yang selalu mencari kebaikan dalam segala sesuatu.
Aamiin.
Referensi :
[1] QS. An-Nur : 22
[2] Shahih Bukhari, no. 6065; Shahih Muslim, no. 2563
[3] Malfuzat, Jilid 1, hal 38
[4] QS. Ali-Imran : 200
Visits: 58