MENELADANI KERENDAHAN HATI HADHRAT RASULULLAH SAW

Panutan kita, Yang Mulia Rasulullah saw., adalah yang paling utama dari antara para Muslim karena beliau saw. Adalah sosok yang paling mengetahui pemahaman tentang Tuhan. Iman Islam beliau saw. Adalah yang tertinggi dari segalanya, dan beliau saw. Adalah penghulu dari semua umat Muslim.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Dia telah mengajarkan kepada engkau apa yang tadinya engkau tidak mengetahui, dan karunia Allah atas engkau sangat besar.” [1]

Ayat ini mengandung arti bahwa Allah SWT telah mengajarkan kepada Hadhrat Rasulullah saw. segala hal yang tak mungkin dipelajari beliau sendiri, dan berkat rahmat Ilahi, beliau memperoleh berkat pengetahuan lebih banyak dibanding manusia lainnya.

Hadhrat Rasulullah saw. memiliki dua nama yang beberkat, yaitu Muhammad dan Ahmad. Kedua nama tersebut memiliki keunggulan yang berbeda. Jika nama Muhammad menggambarkan keagungan dan kebesaran, maka Ahmad menggambarkan kerendahan hati.

Kehidupan beliau saw. Sebagai seorang Nabi terbagi dalam dua bagian: sebagian dihabiskan di Mekah selama tiga belas tahun, dan sebagian lainnya di Madinah yang memakan waktu sepuluh tahun. Kehidupan beliau saw. Di Mekah menggambarkan segi nama Ahmad dari sosok beliau. Jangka waktu tersebut banyak dihabiskan dalam meratap dan memohon pertolongan Allah di dalam doa. Ratapan beliau bukan untuk diri pribadi, melainkan karena kesadaran beliau saw. Akan kondisi dunia pada saat itu yang telah melupakan penyembahan terhadap Allah SWT. [2]

Di tengah-tengah umat yang telah melupakan penyembahan kepada Allah SWT, Hadhrat Muhammad saw. diturunkan sebagai matahari alam rohani. Kehadirannya membawa revolusi akhlak besar sebagai perwujudan sifat Rahman dan Rahim dari Allah SWT. Salah satu akhlak yang umat Muslim harus teladani agar menjadi sosok ibadurrahman adalah kerendahan hati.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hamba-hamba sejati Tuhan Yang Rahman ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan merendahkan diri; dan apabila orang-orang jahil menegur mereka, mereka mengucapkan, ‘Sejahtera’.” [3]

Sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan ditampakkan secara sempurna oleh pribadi Hadhrat Rasulullah saw. Abu Hurairah meriwayatkan: “Pada suatu hari aku mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa tidak ada manusia meraih keselamatan melalui amal salehnya sendiri.” Atas keterangan itu aku berkata, “Ya, Rasulullah, anda pasti masuk surga melalui amal saleh Anda.” Dijawab oleh Rasulullah saw., “Tidak, aku pun tidak dapat masuk surga dengan perantaraan amal baikku, melainkan oleh kasih sayang Tuhan.” [4]

Sikap yang dicontohkan beliau saw. menunjukkan bagaimana seorang hamba selayaknya merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta. Tak patut seorang hamba memandang dirinya lebih baik dari orang lain dan merasa diri telah sempurna. Sikap meremehkan orang lain, menganggap orang lain lebih rendah, menyebabkan munculnya sikap sombong. Sikap sombong menyebabkan manusia tidak mau mendengar nasihat kebaikan dan menolak kebenaran. Lantas, bagaimana kita dapat memperbaiki diri jika telinga kita sudah menolak nasihat kebaikan?

Hadhrat Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain.” [5]
Sikap rendah hati Hadhrat Rasulullah saw. terhadap sesama pun tercermin dalam perilaku sehari-hari.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Shahih Bukhari, halaman 1708 yang artinya: “Dari Anas ra. sesungguhnya Rasulullah saw. melewati beberapa anak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka.”

Setiap hamba Allah hendaknya menerapkan sikap rendah hati ini dan menerapkannya juga kepada anak-anak. Penerapan sikap rendah hati dapat diajarkan secara bertahap dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari berperilaku secara sopan dan sederhana, bersikap hormat tidak hanya pada yang tua, tapi juga pada yang muda. Biasakan mengucapkan terima kasih dan tidak segan berbagi tanpa mengharapkan pamrih. Selanjutnya, bersikap terbuka dengan menerima kritik dan tidak malu mengakui kesalahan dengan mengucapkan “maaf”

Tahap penting lainnya adalah senantiasa bersikap adil, menghormati, dan memberikan hak orang lain dengan benar. Dan terakhir, dalam segi peribadatan seperti dicontohkan Rasulullah saw., senantiasa sibuk berdoa dan memohon ampunan serta rahmat Tuhan atas segala kelemahan yang ada pada diri.

Referensi:
[1] QS. An-Nisa:114
[2] Inti Ajaran Islam I hal. 265
[3] QS. Al-Furqon:64
[4] Bukhari, Kitab Al-Riqaq
[5] HR.Muslim no.2865

Visits: 57

Rahma Candra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *