
Menentukan Prioritas Kebutuhan dalam Ajaran Islam
Semasa hidupnya dimulai dari lahir hingga wafat, pasti manusia memiliki kebutuhan. Dan kebutuhan manusia pun semakin hari semakin bertambah dan berubah disesuaikan dengan keperluan pada fase usianya. Antara balita dan anak sekolah pasti memiliki kebutuhan yang berbeda, begitupun antara remaja dan orang dewasa pun memiliki kebutuhan yang berbeda.
Ini selaras dengan teori dari Maslow dimana kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hierarki, maksudnya adalah manusia memenuhi kebutuhannya secara berjenjang. Adapun beberapa tingkatan yang diklasifikasikan oleh Maslow antara lain adalah kebutuhan fisik, rasa aman, kepemilikan dan rasa cinta, perasaan dihargai, dan aktualisasi diri.
Sedangkan dalam perspektif Islam kebutuhan disandarkan kepada konsep maslahah. Maslahah adalah sesuatu yang memberikan manfaat baik di dunia dan di akhirat. Menurut Al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia terdiri dari 3 hal yaitu Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama, Hajiyat (sekunder) adalah kebutuhan sekunder dan Tahsiniyat (tersier) adalah kebutuhan pelengkap. Bila kita jabarkan kembali klasifikasi-klasifikasi dari Maslow dan Al-Syathibi maka kita akan menemukan kebutuhan fisik ada di puncak piramid, karena kebutuhan fisik yang dimaksud berhubungan langsung dengan keberlangsungan hidup manusia.
Perkembangan zaman pun kini terasa semakin pesat perubahannya, dibuktikan dengan sangat mudahnya manusia memenuhi kebutuhan. Tentu teknologi menjadi pilar penyangga perkembangan zaman ini, dengan teknologi yang sedemikian rupa manusia mampu memenuhi kebutuhannya dengan sangat instan dan mudah. Dengan hanya menggunakan handphone saja maka seluruh kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi. Namun perkembangan ini bila tidak dapat disikapi dengan bijak akan mendatangkan kemudharatan.
Kemudharatan yang sering menghinggapi manusia dalam konteks ini adalah bingungnya manusia menentukan mana kebutuhan prioritas dan mana yang bukan. Alih-alih melabeli kebutuhan, justru yang paling mendominasi pikiran manusia adalah keinginan. Pemenuhan keinginan ini dipermudah dengan kemajuan teknologi, sehingga banyak sekali manusia yang tidak bisa mengontrol dirinya tergelincir ke arah pemborosan bahkan keserakahan yang bertabrakan dengan pendapatan.
Kemudharatan itu bisa timbul karena surutnya keimanan dalam hati manusia, maksudnya adalah kecintaan manusia kepada dunia lebih besar dibanding akhirat. Bagi mereka lebih mencintai dunia maka mereka akan berlomba lomba mengejar kesemuan, yaitu kepuasan dalam memenuhi keinginan. Memang rasa tertarik kepada harta benda adalah hal yang lumrah bagi manusia, karena memang itu fitrahnya. Namun bila keinginan akan hal semu itu menguasai diri manusia tentu akan menjadikan manusia tersebut ikut tergerus di dalamnya lewat pemborosan dan keserakahan.
Pemborosan dan keserakahan timbul karena manusia tidak mampu membedakan mana kebutuhan dan keinginan, sehingga kadang mereka terjebak dalam pemenuhan keinginan dan melupakan kebutuhan. Pembahasan ini pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i, “Jika terdapat banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, maka mulailah dari yang terpenting dan mendesak.”
Jadi dalam pemenuhan kebutuhan, manusia harus menjadikan iman sebagai kacamata dalam melihat perkara ini. Dimaksudkan dengan iman ini menjadi pengingat bagi manusia bahwa tujuan pembentukan dunia adalah sebagai lahan beribadah bukan pemuas keinginan, dunia dan akhirat memang dua perkara yang tidak bisa dipisahkan. Akhirat didapatkan dari usaha kita di dunia, bila manusia sudah paham akan hal ini maka hawa nafsu tidak akan menguasai mereka atas perkara duniawi.
Visits: 235